SORE hari, setelah briefing oleh panitia penanggung jawab kelompoknya, Tessa memisahkan diri dari rombongan dan berjalan menuju ruang OSIS.
"Lho, nggak langsung pulang?" tanya salah seorang cewek teman barunya. Tessa lupa namanya karena seharian ini telah berkenalan dengan ratusan orang.
Tessa menggeleng. "Masih ada urusan sama panitia."
Cewek itu menautkan alis, masih belum puas dengan jawabannya. "Urusan apaan? Kok cuma kamu doang?"
Tessa mendesah. Dia sudah sering bertemu orang-orang kepo semacam ini. Versi nggak ekstrem dari ibu-ibu kompleks yang rencana mau beli cabe di warung, tapi mampir ngobrol di rumah tetangga dulu berjam-jam, sampai sang tetangga yang tadinya berniat nyuci baju dan bersih-bersih rumah jadi batal demi nemenin dia ngobrol.
Tapi gimanapun juga, dia nggak boleh songong. Siapa tahu tuduhannya meleset.
"Tadi aku telat. Harus bikin surat pernyataan kalau besok nggak bakal telat lagi. Kalau nggak, nggak bakal dikasih sertifikat lulus MOS."
Cewek itu manggut-manggut. "Mau ditemenin?"
Tessa menggeleng. "Udah tahu tempatnya, kok. Lagian udah sore banget, nanti orang rumah kamu pada khawatir."
Tessa segera permisi dan melambaikan tangan, tapi ternyata orang yang ingin dia temui malah tidak nampak di lokasi.
"Tadi saya janjian ketemu sepulang MOS." Tessa berusaha menjelaskan pada seorang panitia saat ia menanyakan keberadaan Kak Edgar, dan seniornya itu mengatakan sang Ketua OSIS sedang tidak berada di tempat.
"Janjiannya jam berapa?" Panitia itu balik bertanya.
Tessa cuma bisa menggeleng lesu.
Salahnya sendiri tidak menanyakan waktu yang jelas dalam perjanjian mereka tadi pagi.
"Panitia masih ada evaluasi kegiatan. Tunggu aja di sini kalo gitu. Nanti juga semua pada ke sini kalau udah selesai."
Pintu ruang OSIS dikunci. Tessa ditinggalkan sendirian, duduk di teras.
Dan sekarang sudah hampir pukul lima sore. Tidak ada siswa baru lain yang masih tinggal di sekolah.
Tessa menunggu dengan sabar sampai gerombolan panitia mulai terlihat di ujung koridor dari arah lapangan basket.
Dia segera berdiri dan merapikan roknya yang mulai kumal.
Sebagian besar panitia langsung menuju gerbang mading untuk pulang, hanya beberapa orang yang berjalan terus ke arahnya, termasuk orang yang sedang dia tunggu.
"Kamu yang tadi pagi?" Kak Edgar akhirnya menghampiri dan menanyainya lebih dulu.
"Iya, Kak."
Salah seorang panitia berwajah tidak familier membukakan pintu untuknya.
"Masuk, deh."
Tessa mengikutinya masuk ke ruangan, duduk di salah satu meja terdekat dari pintu.
Beberapa orang masuk untuk mengambil tas di loker, kemudian langsung keluar lagi, meninggalkan mereka hanya berdua di dalam ruang OSIS yang lengang.
"Nama kamu siapa tadi?" tanya Edgar.
"Tessania Prameswari, Kak."
"Dipanggil apa, nih? Tessa?"
"Iya."
"Oke. Pernah bikin surat pernyataan?"
"Belum."
"Bentar saya cariin formatnya."
Edgar menyalakan laptop yang tadi diletakkannya di meja di hadapan mereka.
"Tulisan kamu bagus, nggak?" tanyanya lagi.
"Eung ...." Tessa tidak merasa yakin. Lebih banyak yang bilang tulisannya jelek, sih.
Dia lebih suka menggambar daripada menulis.
"Oke, kalau gitu diketik aja." Lelaki itu membalikkan layar laptop hingga menghadap ke Tessa. "Kalau udah, bisa print di situ, terus kamu tandatangani."
Tessa mengangguk.
Lelaki itu kemudian bangkit dan keluar dari ruangan.
Di luar masih terdengar suara orang mengobrol.
Tessa mengetik secepat-cepatnya, takut pulang kemalaman. Tapi saking fokus mengetik dan mengoreksi isi suratnya, dia sampai tidak sadar kapan suara-suara itu menghilang.
Dilongokkannya kepalanya keluar dari pintu.
Benar, sudah tidak ada orang. Dan langit juga mulai gelap.
Mampus! Tessa langsung merinding.
Sendirian di rumah sih oke. Tapi sendirian di sekolah ....
Segera dicetaknya surat pernyataannya menggunakan printer yang tadi ditunjuk, kemudian ditandatanganinya.
Laptop pinjamannya segera dia matikan. Lalu dia menoleh ke pintu.
Kunci pintu masih menancap di tempatnya. Menunggu Kak Edgar kembali, bisa-bisa dia sudah mati duluan karena ketakutan. Akhirnya Tessa pilih keluar. Mengunci ruangan itu, membawa serta anak kunci dan laptop pinjamannya, dan segera menuju ke gerbang mading.
Lampu koridor tiba-tiba secara serempak menyala otomatis, bahkan sebelum gadis itu sampai di sana, membuatnya seketika lari tunggang langgang karena kaget dan takut, langsung menyeberangi halaman menuju gerbang utama.
"Tessa!"
Langkahnya terhenti.
Napasnya tersengal-sengal.
Dia lalu menoleh ke pos sekuriti, tempat suara berasal.
"Kak ... ?"
Edgar keluar dari pos dan berjalan menghampirinya.
"Kenapa lari-larian? Udah selesai?"
"Iya. Tadi saya nyari Kakak." Tessa mencoba mengatur napas.
"Sorry, saya kelaperan tadi, jadi keluar sebentar nyari makan."
Pandangan sang senior turun ke laptopnya yang sekarang berada di pelukan Tessa.
"Oh, maaf. Ini tadi saya bingung mau ditinggal apa gimana. Akhirnya saya bawa aja, sekalian kunci ruang OSIS."
Segera dia ulurkan laptop itu ke sang pemilik, beserta surat pernyataannya dan kunci ruang OSIS.
"Sudah betul kan, Kak, suratnya?" tanyanya cemas. Dia tidak ingin mengulang membuat surat lagi. Sudah seharusnya dia tiba di rumah sekarang.
"Udah, kok." Cowok itu manggut-manggut, kemudian mengalihkan pandangan dari surat yang dibacanya. "Kamu pulang sama siapa?"
Tessa menautkan alis, tidak menyangka akan ditanyai. "Naik ojol, Kak."
"Pulang ke arah mana?"
"Tlogomas."
"Luka abis jatuh tadi pagi udah mendingan?"
"Eh?" Bahkan dia tidak sadar kalau lukanya tidak terasa nyeri sama sekali saat dipakai berlari tadi. Mungkin nanti malam atau besok pagi baru terasa pegal-pegal semua badannya. "Udah sih, Kak."
Dia lalu bersiap-siap untuk pamit.
Tapi gagal.
"Kamu pulang sama saya aja. Nanti orang tuamu khawatir lihat anaknya baru hari pertama sekolah udah luka-luka begini, dibiarin aja sama panitia MOS-nya."
Alis Tessa menyatu sempurna.
Dia kan nggak terluka karena kegiatan di sekolah, batinnya. Tapi tidak berani membantah. Malah harusnya bersyukur karena bisa menghemat ongkos pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...