TESSA sedang di kantin bersama Aurel dan Judith. Sekarang baru pukul setengah tujuh lewat. Ketiganya tadi belum sempat sarapan di rumah, jadi Aurel mengajak teman-temannya untuk mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut.
"Bingung deh, mau makan apa," gumam Judith sambil memperhatikan jajanan di depannya.
"Makan nasi aja, sih." Aurel memutar bola mata. Dia sendiri memesan nasi goreng. Dengan telur dadar yang diirisi cabai.
Judith bergidik. Dia memang agak pemilih soal makanan dan nggak terlalu suka pedas. "Ngantuk gue kalau makan nasi pagi-pagi."
Tessa berdiri di depan warung terpisah dari keduanya, memesan seporsi bubur ayam dengan tambahan topping irisan cakwe. Kemudian setelah pesanannya jadi, dia segera membawa nampannya menuju salah satu bangku kosong, mendahului kedua temannya.
Sebenarnya kantin sedang tidak terlalu ramai, jadi pilihan bangkunya banyak. Tapi tetap saja meja yang di ujung, tempat dia dan Edgar biasa duduk adalah yang paling enak, karena dekat dengan pohon akasia yang tumbuh di sebelah kantin. Semilir anginnya lebih terasa dibanding di meja lain.
Tapi sebelum sempat dicegah, seorang cewek dengan sengaja menyenggol Tessa saat berjalan melewatinya, membuat es teh di nampan yang dibawanya tumpah mengenai kemeja seragamnya.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Tessa disenggol-senggol, bahkan ditabrak-tabrak saat sedang berjalan, entah di kantin, atau koridor depan kelas-kelas. Dilempar pakai bola basket juga sering, dengan dalih nggak sengaja karena baru belajar. Tapi saat itu suasana hatinya sedang adem. Dan dia tidak mau ribut di depan Kak Edgar.
Tapi sekarang dia nggak punya alasan untuk mendiamkannya. Toh dari awal dia sudah bertekad, kalau diomongin doang, digibahin, biarpun gibahinnya keras-keras sampai dia dengar, dia nggak akan mempermasalahkan. Tapi kalau sudah main fisik, jangan kira Tessa bisa dibully!
Segera diletakkannya nampannya di meja terdekat, kemudian dia menghampiri cewek yang tadi menyenggolnya, yang sekarang sudah duduk di tengah kantin, tanpa berniat sedikit pun untuk meminta maaf.
Hari ini Tessa sedang tidak ingin berlagak menjadi siswi teladan. Kepada siapapun yang cari gara-gara, dia tidak akan tinggal diam.
Langsung dia jambak rambut panjang cewek itu tanpa peringatan, yang kontan jadi mengaduh kesakitan. Teman-teman di mejanya langsung pada panik, tapi tidak ada yang berani melerai.
Ah, mereka memang cuma sesama anak kelas sepuluh juga, tapi lagaknya sudah seperti senior. Dia pikir Tessa takut?!
"Lo sinting, ya?!" Cewek itu masih sempat-sempatnya mendamprat disaat rambutnya sendiri sedang berada di cengkeraman Tessa.
"Mau lo apa nyenggol-nyenggol gue? Jalan segitu luasnya, lo pikir gue nggak tahu kalau lo sengaja? Dan lo pikir gue nggak inget, muka-muka yang sering melototin tiap gue jalan sama Kak Edgar. Kenapa? Sirik gue bisa dapet cowok yang lo suka?"
"Apa-apaan, sih? Lebay lo!"
"Gue peringatin untuk pertama dan terakhir kalinya, cari masalah sama gue sekali lagi, siap-siap kita berdua dikeluarin dari sekolah!"
Tessa melepas rambut yang dia pegang. Percuma. Mereka bukan tandingannya. Baru juga dijambak, udah jiper. Mana temennya nggak ada yang belain. Nggak asyik.
Tessa kembali ke meja tempat nampannya ia letakkan. Aurel dan Judith sudah ada di sana.
"Kenapa, Tes?" tanya Judith. Sebenarnya dia juga sering mengompori Tessa untuk tidak diam saja diganggu anak-anak seangkatan, bahkan senior-senior cewek. Anak-anak model begitu kudu dilaporin ke orang tuanya, kalau kerjaan mereka di sekolah cuma nggibah dan ngebully anak orang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...