PELAJARAN terakhir hari ini Bahasa Indonesia. Bu Sulastri mengajak kelas Tessa pindah ke perpustakaan agar lebih mudah mencari bahan bacaan sekaligus untuk berganti suasana karena dilihatnya seisi kelas nampak lesu.
Kebetulan Perpustakaan memang sedang sepi. Tidak ada kelas lain yang menggunakannya. Hanya ada beberapa pengunjung di sana, mungkin dari kelas-kelas yang sedang tidak ada gurunya.
Bu Sulastri memberi tugas berkelompok untuk mencari unsur-unsur cerita rakyat, dan para siswa dibuat duduk melingkari meja-meja yang ada bersama kelompok masing-masing agar lebih mudah berdiskusi.
Tessa satu kelompok dengan Aurel dan tiga orang lain, dan langsung bagi tugas. Tessa dan Aurel bagian mencari buku yang akan mereka diskusikan.
Dan saat berdiri bersama Aurel dan anak-anak dari kelompok lain di sebuah rak, fokus membaca judul-judul buku di bagian 'Cerita Rakyat', Tessa tidak sengaja mendengar nama Edgar disebut-sebut oleh segerombol siswi yang sedang ngerumpi sambil membaca-baca bagian ramalan zodiak di sebuah surat kabar. Dari bagde warna kuning di bahu kemeja seragam mereka, Tessa tahu mereka kelas sebelas, dan ada seorang yang wajahnya Tessa kenali sebagai panitia MOS di antara mereka.
Mereka jelas tau Tessa ada di sana, dan sengaja tidak memelankan suara. Tessa melirik sekilas teman-temannya, yang langsung merasa tidak nyaman dan segera mempercepat aktivitas mereka.
"Tes, itu mereka ngomongin elo bukan, sih?" Aurel berbisik, setelah semua temannya yang lain, yang juga mencari buku, sudah kembali ke meja masing-masing. Diliriknya sekilas gerombolan cewek kelas sebelas itu.
"Nggak usah didengerin." Tessa senyum, menarik sebuah buku tipis tentang si kancil, yang menurutnya cerita itu pasti sudah sangat familiar bagi kelompoknya, jadi tidak akan butuh waktu lama untuk berdiskusi. "Mau pakai buku ini aja, nggak?"
"Boleh." Aurel cuma manggut-manggut.
Setelah menyerahkan buku itu untuk dibaca teman-teman kelompoknya, Tessa izin ke kamar mandi. Dia mencuci muka di wastafel, memandang pantulan wajahnya di cermin yang terlihat sayu dengan mata merah dan kantung menghitam.
Mungkin karena tidak tidur, suasana hatinya juga jadi kurang baik, karenanya dia mudah terbawa perasaan. Padahal biasanya kupingnya tahan gunjingan.
Gadis itu masuk ke salah satu bilik, duduk di atas kloset yang tertutup, membungkam mulut sekaligus memeluk dirinya sendiri erat-erat.
Tessa menangis.
Dia memang cuma siswi kelas sepuluh biasa. Tidak ada istimewa-istimewanya. Sama sekali tidak populer di sekolah. Dan kalau dilihat dari manapun memang benar, disukai orang macam Edgar pantas membuatnya dijuluki kejatuhan bulan.
Setelah dirasa sudah cukup lama meninggalkan perpustakaan, dipaksanya air matanya berhenti turun. Lalu segera mencuci mukanya sekali lagi.
Jam sekolah kurang beberapa puluh menit lagi. Dia hanya perlu bersabar sebentar, kemudian segera pulang ke rumah dan tidur secukupnya. Dengan begitu suasana hatinya pasti bisa membaik.
"Mules, Tes?" Aurel nampak khawatir ketika melihat temannya kembali dari kamar mandi. "Kok bisa? Tadi kan nggak pakai sambal rawonnya?"
"Bukan karena rawon, kok. Emang udah waktunya dikeluarin aja." Tessa meringis, berlagak malu.
¤ ¤ ¤
Gerimis turun tepat saat bel pulang berbunyi. Tessa berteduh di pos sekuriti seperti biasa, mengobrol dengan Pak Yanto, rekan Pak Asep. Edgar datang bersama motornya tak lama kemudian, segera masuk dan menyerahkan jas hujan serta helm untuk Tessa, dan mereka segera berangkat menuju rumahnya.
"Entah kenapa perasaan gue hari ini nggak enak banget, Tes," ujar Edgar begitu mereka sudah di jalan sambil melirik Tessa lewat spion. Hujannya tidak terlalu deras, dan laju kendaraan di jalan lumayan lancar, tidak macet.
"Kenapa emangnya?" gumam Tessa, sambil berusaha keras menahan matanya tetap terbuka. Kantuknya terasa makin parah.
Mereka berhenti di lampu merah tak jauh dari sekolah.
"Lo nggak mau pegangan gue aja, Tes? Gue takut lo jatuh. Kayaknya ngantuk banget."
Tessa menurut karena kali ini tidak yakin juga pada matanya sendiri.
"Badan lo panas banget gini, yakin nggak sakit?"
"Nanti coba minum vitamin, deh."
"HP jangan di silent ya. Nanti gue hubungi. Atau kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue aja pokoknya."
"Iya."
Hujan berhenti tidak jauh dari perumahan Tessa. Edgar menghentikan motornya di halaman rumah seperti biasa.
"Ya udah, langsung minum vitamin terus tidur, sana."
Tessa mengangguk-angguk dan langsung masuk tanpa melepas helm dan raincoatnya.
¤ ¤ ¤
Kembali ke sekolah, Edgar benar-benar merasa tidak tenang. Semua anggota OSIS dan guru-guru yang menjadi pembina mereka sudah berkumpul. Rapat akan segera di mulai.
"Kenapa, Bro?"
Rex yang bertanya. Kebetulan temannya itu duduk tepat di sebelahnya.
"Tessa. Kayaknya lagi sakit, deh."
"Lah, nggak ada yang bisa nganter dia ke dokter? Setahu gue Budhe sama sepupunya tiap hari ada di rumah."
Perasaan Edgar makin tak enak. Tessa jelas bukan orang yang akan mengetuk rumah saudaranya untuk minta diantar ke dokter. Kalau tidak enak badan, pasti dia lebih memilih tidur di rumah. Kalau sudah parah, baru berangkat sendiri ke rumah sakit. Gadis itu terlalu sok mandiri.
"Nanti pas pulang gue mampir ke rumahnya, deh. Kalau perlu gue yang anter ke dokter biar lo tenang," kata Rex lagi.
Edgar menggeleng. "Gue aja yang ke sono lagi ntar. Nggak tenang gue kalau nggak lihat sendiri keadaanya."
Proyektor sudah dinyalakan. Edgar segera mengambil alih mikrofon di meja di hadapannya, dan menyalakannya, bersiap membuka rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...