TESSA akhirnya muncul juga dari pintu keluar Stasiun Kota Baru, setelah agak lama Edgar menunggu. Tentu bukan keretanya yang datang terlambat. Edgarlah yang tiba lebih awal. Dia tidak ingin Tessa menunggu dan malah meninggalkannya pulang duluan naik ojek online.
Gadis itu nampak kecil diantara para penumpang lain. Nampak lelah dan rapuh, membuat Edgar ingin mengadopsinya dan memastikan dia hidup dengan baik. Padahal dulu Tessa terlihat sekuat dan seenerjik cewek-cewek ekskul pencak silat. Bahkan akhir-akhir ini Ricis jadi sering bertanya-tanya padanya apakah Tessa mengidap penyakit parah. Karena hanya dalam waktu beberapa minggu, fisiknya berubah drastis.
Tessa langsung melihatnya di salah satu bangku di teras stasiun, kemudian menghampirinya.
"Lo potong rambut, Tes?" Edgar bangkit dari tempat duduknya dan segera menunjukkan jalan menuju tempat motornya terparkir, tanpa menawarkan diri untuk membawakan ransel Tessa, karena yakin pasti akan ditolak. Dia baru sadar rambut Tessa panjangnya tidak lagi melewati bahu. Tadi dari kejauhan dia pikir gadis itu hanya memasukkan ujung rambutnya ke dalam jaket, tapi ternyata tidak. Rambutnya sudah terpotong pendek.
"Iya. Kenapa?" Tessa balik bertanya dengan nada datar. Potongan rambut memang tidak penting juga, sih.
"Nggak pa-pa. Cocok, kok." Edgar mengangsurkan salah satu helmnya. "Mau mampir nyari makan dulu?"
"Boleh. Kebetulan Tessa juga belum makan."
Edgar segera menyalakan mesin, dan mencari tempat makan tidak jauh dari situ.
Selama mereka makan, Tessa tidak banyak bicara, hanya menanggapi Edgar sekedarnya. Barulah setelah makanan keduanya tandas, dia membuka mulut.
"Kita udahan aja ya, Kak," ujarnya kemudian. Jelas. Lugas.
Bagi Edgar, waktu serasa berhenti berputar selama beberapa detik. Pasti Tessa salah ngomong. Atau dia yang salah persepsi. Ya kali, dia diputusin?
"Udahan?" Edgar mengulangi perkataan Tessa. "Makannya?"
Tessa menggeleng. Perasaan Edgar langsung tidak enak.
Tessa bukan sedang memutuskannya, kan?
"Kita. Tessa sama Kakak. Sampai di sini aja, ya." Gadis itu menjelaskan. Masih sama lugasnya dengan yang pertama tadi.
Isi perut Edgar langsung terasa sedang diaduk-aduk. Nasi padang yang barusan dimakannya seolah menuntut minta dikeluarkan lagi. Mual.
"Kali ini kenapa lagi?" tanyanya akhirnya setelah berusaha keras menahan muntah, dengan suara tercekat. Ini bukan pertama kalinya Edgar diputuskan oleh cewek. Tapi sumpah, diputusin setelah makan itu bener-bener tidak recommended. Apalagi diputusin pas lagi sayang-sayangnya.
Tessa tidak menyahut. Kepalanya tertunduk, menghindari tatapan Edgar.
"Pasti dugaan gue bener, kan? Lo ada masalah keluarga?" Edgar menyelidik.
Tessa menggeleng. "Tessa cuma ngerasa kita nggak cocok aja. Percuma dipaksain."
"Nggak cocok gimana? Baru juga berapa bulan kita jalan, Tes. Bahkan lo belum kenal-kenal banget sama gue. Jangan nilai gue secepet itu, lah! Lagian mana ada pemaksaan di sini? Lo bukannya process oriented ya? Nggak sembarangan ngejudge sesuatu gagal, karena bukan cuma hasilnya yang lo lihat! Kita ini lagi berproses, Tes. Jelas butuh waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...