PONSEL Tessa tidak henti-hentinya bergetar di saku rok seragamnya, padahal bel masuk sudah berbunyi dan gurunya juga sudah duduk di depan.
"Penting, kali." Aurel menggumam sambil fokus memperhatikan ke papan tulis.
Tessa mengeluarkan ponselnya dan menyalakan layarnya secara sembunyi-sembunyi di laci meja.
"Siapa?" desis Aurel.
"Angie."
Angie itu adik Tessa di Bandung, yang kini sudah duduk di bangku kelas enam SD. Lima panggilan tidak terjawab. Tessa segera mengetik pesan bahwa dia akan menelepon balik saat istirahat nanti. Kebetulan jam istirahat mereka berdua sama.
Tapi mau tidak mau Tessa jadi tidak tenang sendiri. Sekarang masih jam pelajaran. Angie pasti juga sedang sekolah saat ini. Tapi kenapa malah meneleponnya?
Kemarin lusa, saat dia sedang di rumah Edgar, adik semata wayangnya itu jugalah yang menelepon. Sambil menangis di seberang. Padahal Angie termasuk anak yang cuek bebek dan jarang menangis. Tidak ada hal yang akan benar-benar membuatnya merasa terganggu karena dia hampir tidak pernah peduli urusan orang lain, termasuk urusan kakak atau orang tuanya sendiri. Kalau sampai Angie menghubunginya sambil menangis, tentu situasi yang sedang dihadapinya sedang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Tessa dulu juga seperti Angie. Tidak peduli hal lain, hanya fokus mengejar cita-citanya sendiri, yaitu prestasi akademik dan olahraga. Dia juga serajin Edgar dan Rex dalam hal mengikuti lomba ini-itu.
Tapi begitu mulai masuk SMP, Tessa tahu berjuang sendiri itu tidak enak. Apalagi jika Mama atau Ayahnya tidak lagi peduli dia berprestasi atau tidak.
"Kamu nggak sekolah? Kok nelepon pagi-pagi?" tanya Tessa pada Angie di telepon begitu bel istirahat berbunyi.
"Aku di UKS. Nggak mood belajar."
Tessa menghela napas berat. Dulu waktu kelas sembilan dia juga begitu. Tidak bisa fokus belajar. Tapi karena Ayah sudah berjanji mengizinkannya melanjutkan sekolah di Malang, dia jadi sedikit termotivasi, meskipun tidak cukup untuk membuatnya bisa mendapat nilai tinggi seperti seharusnya.
"Mama sama Ayah kenapa sih, Kak?" Angie mendesah di seberang. Terdengar sudah lelah. Akhir-akhir ini dia memang selalu mengeluhkan hal yang sama.
"Emang ada apa lagi sekarang?" tanya Tessa.
"Biasa." Angie seperti sudah tidak sanggup menolerir lagi. "Angie nggak betah di rumah, mau ikut Kakak aja."
"Iya, nanti kalau kamu lulus, Kakak ajak kamu ke Malang."
Angie menangis, tahu Tessa kemungkinan besar sedang menghiburnya saja. Lulus SD nanti umurnya baru dua belas tahun. Orang tua mana yang akan mengizinkan anaknya sekolah di luar kota, luar provinsi? Kalau sekolahnya punya asrama, mungkin masih mending. Tapi untuk tinggal di rumah sendiri yang minim pengawasan, jelas tidak. Apalagi pasti Ayahnya akan berpikir membiarkan Angie ke Malang tentu hanya akan merepotkan kakaknya yang juga masih belia.
"Ssh. Yang sabar ya. Kalau pengen ngeluh, telepon Kakak aja. Jangan ganggu Mama atau Ayah dulu. BTW tadi ke sekolah di anter siapa?"
"Naik bus."
"Uang saku aman?"
"Aman."
"Oke. Beli sarapan di sekolah aja. Sebelum pulang mampir beli makan dulu."
"Kapan Kakak ke Bandung?"
"Secepatnya."
"Secepatnya itu kapan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...