SABTU jam sepuluh pagi, Edgar sudah nangkring di atas jok motornya, di halaman depan rumah Tessa.
Tessa yang memang sudah selesai bersiap-siap segera menyambar sling bagnya dan berjalan keluar.
Ini pertama kalinya Edgar melihatnya tanpa seragam sekolah.
Dia hanya memakai rok terusan selutut, jaket jeans, serta sepatu Converse merah. Rambutnya yang panjang melewati bahu digerai tanpa hiasan. Mukanya juga polos. Cuma bibirnya saja yang sedikit mengkilat. Beda sekali dengan teman-teman atau pacar-pacar Edgar terdahulu. Mereka tidak akan keluar rumah jika bulu mata tidak dijepit dan diberi maskara, pipi diberi perona, dan lipstik tipis. Mungkin karena Tessa baru kelas sepuluh. Rata-rata cewek-cewek baru akan berubah di pertengahan kelas sepuluh atau sebelas. Ada juga sih yang sudah menor sejak SMP. Banyak, malah.
"Gue perlu pamit ke ortu?" tanya Edgar.
Tessa menggeleng. "Nggak ada siapa-siapa di rumah."
"Oke. Tapi lo udah bilang mau pergi sama gue, kan?"
"Udah."
Edgar menyerahkan helmnya dan segera menyalakan mesin. Jalan agak lengang. Mungkin karena banyak mahasiswa yang pulang kampung hari Jumat sore. Jadi populasi pengguna jalan berkurang drastis. Mall juga tidak terlalu ramai.
Mereka langsung menuju toko buku, karena bakal repot membawa-bawa kanvas kalau ke toko ATK lebih dulu.
"Lo suka baca novel nggak, Tes?" tanya Edgar sambil memperhatikan judul-judul novel di rak di depannya. Dia mencari-cari yang paling tipis dan yang judulnya paling normal, tidak menye-menye.
"Suka. Tapi lumayan pemilih meskipun sebenernya bisa baca semua genre."
"Pemilihnya dalam hal?"
"Gaya bahasa sama isinya. Tessa nggak kuat baca yang alay dan sok asik. Pernah nemu buku yang kayak begitu, kan?"
Edgar menggeleng. "Gue cuma baca novel tiap ada tugas Bahasa Indonesia aja. Nggak suka soalnya. Kalau buku-buku non fiksi kadang-kadang masih baca, kayak buku motivasi, biografi, self improvement, sama entrepreneurship gitu."
Tessa mangut-manggut.
"Kalau soal isinya, Tes? Yang nggak lo suka yang kayak gimana?" Edgar bertanya lagi.
"Yang mau dibaca ulang sepuluh kali pun tetep aja isinya terlalu mengada-ada, minim unsur logisnya, apalagi moral value―kecuali genre fantasy. Kalau fantasy sih mau nggak logis juga terserah. Miris aja Tessa sama temen-temen yang hobi baca cerita populer tanpa filter, sampai-sampai gaya hidup dan pola pikir mereka ikut kecuci, padahal yang mereka jadiin contoh justru nggak masuk di nalar."
"Misalnya?"
"Misalnya yang isinya pacaran doang, hahaha. Seolah-olah dunia remaja bakal hancur kalau mereka nggak punya pacar. Males ah nyeritainnya."
"Oke. Jadi ada rekomendasi novel bagus, nggak?"
"Ada sih, tapi tebel."
Edgar membuang napas. Dia jelas nggak butuh yang tebal. Daripada berjam-jam membaca demi selembar tugas, mending dia main badminton sama anak-anak kompleks.
Tessa tertawa. "Tapi serius, bagus. Dan nggak bucin-bucin amat meski genrenya romance. Pasti masih cocok dibaca Kakak."
"Tetep aja bucin."
"Serius, bagus."
"Ya udah, yang mana?"
Tessa memperhatikan sekeliling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...