"TESSA nggak sekolah lagi, woy! Udah hari ketiga!" Troy langsung duduk di meja di depan Edgar begitu tiba di kelas, tanpa meletakkan tas di punggungnya. Ricis mengekor masuk di belakangnya. Sementara Edgar yang sedang mengutak-atik HP hanya mengangkat wajah dengan lesu.
"Tadi kita sengaja lewat depan rumahnya, lampunya masih nyala." Ricis menimpali, tapi Edgar masih tidak menunjukkan perubahan ekspresi yang signifikan.
Tessa tahu apa yang ingin dan harus dia lakukan. Dan Edgar juga sedang tidak dalam posisi berhak menghawatirkannya, meski tentu saja dia khawatir.
"Fix putus nih, Bro?" Troy memandangnya lurus-lurus, menopang tubuhnya pada satu siku di atas meja.
Ricis meletakkan tasnya dan duduk di bangku Troy. "Putus nggak pa-pa, sih. Asal tetep jaga hubungan baik." Ricis berkata sabar. "Gue sebenernya kasihan sama Tessa. Gue yakin dia lagi stress aja, makanya putusin lo. Dan sebagai temen, kita jangan sampe tutup mata sama masalahnya. Takut kalo dia kenapa-napa. Inget pas kelas sepuluh dulu, kan, Gar? Kalau nggak ada temen-temen macem kalian, udah pasti gue nggak bisa survive."
"Iya." Edgar menghela napas. Dulu waktu kelas sepuluh Ricis memang pernah down karena masalah keluarga. Dan kalau bukan karena teman-teman macam Edgar, Rex, dan Troy, yang biarpun dari luar nampak cuek bebek, jelas masa SMA Ricis tidak akan semulus sekarang. "Gue juga bersyukur punya temen kayak lo, Cis."
"Makanya, jangan gampang nyerah sama Tessa, ya. Ngadepin gue aja lo bisa sabar, masa sama Tessa enggak."
"Gue sabar, kok."
"Good."
"Padahal gue udah mantep banget sama Tessa. Nggak mau nyari cewek lain. Abis ini kita makin sibuk, dan Tessa tuh paling ngertiin. Nggak manja, apalagi minta sering-sering ketemu. Kalo gue jadi kuliah di tempat yang jauh, gue juga yakin dia bakal setia gitu. Eh, nggak tahunya gue malah diputusin."
"By the way, ke mana lagi ya, tu bocah?" Troy menegakkan posisi duduknya.
Ricis mengusap-usap lengan Edgar untuk menenangkan. "Rex nggak tahu juga?" tanyanya, tiba-tiba teringat kalau Rex dan Tessa bertetangga.
"Gue nggak nanya."
"Why?"
"Males."
"Lah? Kenapa?"
"Males ya males."
"Lagi ribut?"
Edgar dan Rex memang bukan tipe teman yang nggak pernah ribut. Kalau sudah berselisih paham, entah masalah OSIS atau hal lain, mereka bisa tiga hari nggak bertegur sapa, meski tetap duduk bersebelahan saat rapat atau makan siang ramai-ramai di kantin.
"Percaya nggak sih kalian, kalau Tessa suka sama dia?"
Troy dan Ricis saling pandang. Kemudian Ricis yang menjawab. "Maybe, sih. Rex kan lebih asyik daripada lo."
Edgar sudah tidak kaget dengan jawaban kejam teman-teman akrabnya. Mereka memang nggak sudi bohong demi nyenengin teman. "Kalau Rex suka Tessa?"
"Maybe juga. Siapa sih yang nggak suka Tessa? Dia itu kayak visualisasi anak SMA yang nggak terpengaruh sama dunia, gitu. Bener-bener punya pendirian, dan kalau bergaul sama dia kayak udah jaminan bakal bisa jadi better version of you gitu lho. Bener-bener bawa dampak positif. Di saat cewek-cewek lain ribut mikirin cogan atau bias K-Pop, she really knows what to do biar masa remajanya tetep asyik tanpa berlalu sia-sia. BTW kenapa elo tiba-tiba nanya gitu?"
"Percaya nggak kalau Tessa nggak pernah suka sama gue?" Kali ini Edgar hanya menoleh ke Ricis karena malas diledek Troy.
"Percaya." Ricis menyahut tanpa sungkan. "Elo tuh nyebelin tau nggak, sih? Udah bucin, posesif, suka seenak-enaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...