#23 Reset

19.6K 3.3K 43
                                    


"MASIH galau aja?" tanya Troy begitu teman sebangkunya memasuki kelas keesokan paginya dengan wajah muram.

Edgar cuma menghela napas, meletakkan tasnya di bangku, kemudian duduk sambil menyandarkan punggung, tidak berniat menjawab.

"Belum baikan?" Troy nanya lagi.

Edgar menggeleng.

Kemudian pandangan Troy menemukan Rex yang kebetulan lewat di depan kelas mereka, masih menenteng tas di punggung, nampak baru tiba juga.

"Nah itu si bocah lewat. WOY, BROTHEER!" teriaknya dari dalam kelas.

Rex yang kenal betul suara itu kontan menoleh, dan tanpa disuruh ia kemudian berbelok memasuki kelas XII IPA 2, duduk terbalik di bangku Ricis yang berada di depan bangku Edgar. Ricis belum tiba.

"Kenape?" tanyanya sambil menopang dagu di sandaran kursi.

"Kemarin Tessa jadi ke tempat lo?" Edgar yang bertanya.

"Iya."

"Dia masih nggak ngerespon WA gue. Cuma ngirim bukti transfer doang. Dia nyicil balikin duit gue beneran, sumpah!"

Rex ketawa. Tapi buru-buru menutup mulut. Takut kualat.

"Menurut lo gue kudu gimana? Masa gue ambil lagi aja CCTVnya biar dia berhenti marah?" Edgar memajukan tubuhnya, nampak antusias menunggu pendapat Rex.

"Ya kali. Udah di pasang mau dicabut lagi." Troy yang menyahut.

Rex cuma mengiyakan. "Baru sehari ini. Tunggu, lah. Nanti juga baikan sendiri."

"Eh, ada apaan nih, rame-rame?" Ricis yang baru datang langsung ikut nimbrung, duduk di sebelah Rex, berhadapan dengan Troy, karena bangkunya sendiri sedang ada yang menempati.

"Ini nih, lagi perang dingin. Antara Baginda Raja Edgar dan sang permaisuri." Troy lagi-lagi yang menyahut karena Edgar malas menjelaskan.

"Lah, bukannya kemaren baik-baik aja?" Alis Ricis bertaut.

Kemarin saat di kantin memang mereka berdua terlihat baik-baik saja. Edgar masih seperhatian biasanya, dan Tessa juga terlihat kooperatif, membuat Edgar jadi tidak kentara kalau bucin sendiri.

"Di depan lo, iya."

"Elo ketahuan selingkuh?" Ricis melipat kedua tangan di dada, bertanya menyelidik.

"Kagak, lah. Emang gue ada tampang tukang selingkuh?"

"Hmm. Enggak, sih. Cuma tampang gonta-ganti pacar. Ya udah sabar aja. Asal bukan selingkuh, kemungkinan besar sih bakal dimaafin." Ricis menyahut enteng, karena memang Edgar tidak biasa galau soal asmara. Itu cowok selalu banyak antrean ceweknya. Sebentar-sebentar punya pacar baru. Cuma Tessa yang terhitung awet. "Btw nanti sore kalian jadi Sertijab OSIS, ya?"

"Iya."

"Selamat deh, udah turun tahta. Oh ya, nyokap lo jadi ngajakin makan-makan nggak sih, Gar?"

"Jadi kalau Tessanya mau dateng."

"Ck. PHP lo!"




¤ ¤ ¤




Pulang Sertijab, sekitar pukul tujuh malam, Edgar nekat mendatangi rumah Tessa. Terserah kalau nanti nggak dibukain pintu. Coba dulu.

Tapi ternyata dugaannya terlalu berlebihan.

Tessa tetap membukakan pintu untuknya meski sudah tahu dia yang datang saat gadis itu mengintip lewat jendela.

Malam ini Tessa memakai sweater dan jeans, seperti habis keluar. Mungkin tadi dia dari toko ATK lagi untuk restock bahan-bahan melukis. Rambutnya cuma dicepol asal-asalan, menyisakan anak-anak rambut di tengkuk dan pelipisnya. Wajahnya polos seperti biasa, cuma pakai lip balm. Karena gadis itu nampak sehat, Edgar jadi bersyukur.

"Kangen, Tes." Edgar berkata to the point, meski sampai kemarin siang mereka masih bertemu di kantin. "Gue nggak disuruh masuk?"

Tessa menyingkir dari pintu, mempersilakan masuk tanpa bicara. Kemudian dia duduk di salah satu sofa tanpa menutup pintu.

Edgar duduk di sebelahnya, bisa melihat ada banyak kanvas berjejer-jejer di lantai ruang tengah. Berarti Tessa tadi sedang membongkar belanjaan ketika dia tiba.

Edgar berdehem agar Tessa mendengarnya. "Sekali lagi gue minta maaf karena udah lancang. Gue cuma khawatir sama lo Tes, karena lo cewek dan tinggal sendirian. Sama sekali nggak ada maksud buat ngelanggar privasi lo."

Tessa masih diam. Kedua tangannya bertaut di atas pangkuan, dan punggungnya tersandar di bantal sofa. Menatap lurus ke depan, ke tembok bertempel wallpaper bunga-bunga warna hijau muda.

Edgar melanjutkan, "Gue nggak bilang kalau tindakan gue bener."

Belum ada sahutan.

"Ini rumah lo dan menyangkut keselamatan lo. Emang seharusnya gue omongin dulu meski tujuan gue demi kebaikan lo."

Edgar menurunkan nada bicaranya.

"Maafin gue, Tes. Gue bakal terus minta maaf sampai lo maafin gue."

Tessa cuma menghela napas. Edgar memutar otak.

"Mama ngadain syukuran besok. Dateng, ya. Gue jemput."

Aaargh! Susah banget sih ngebujuk cewek? Edgar jadi frustasi sendiri.

"Lo udah makan?" tanyanya lembut, meraih bahu Tessa supaya menghadap padanya.

Tapi Tessa membuang muka.

Dan Edgar mengutuk diri dalam hati. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca.

Jadi, dari tadi dia diam karena menahan tangis. Astaga.

"Jangan nangis, Tes."

Edgar mengulurkan tangan untuk merengkuh gadis itu ke pelukannya. Kali ini Tessa tidak menolak. Bahkan Edgar mengelus belakang punggungnya dengan lembut.

"Tessa kesel sama Kakak." Akhirnya gadis itu bersuara. Lirih dan bergetar.

"Iya, gue emang salah." Edgar mempererat rengkuhannya. "Tapi please, kalau gue salah jangan didiemin. Bilang gue harus gimana biar lo bisa maafin dan gue nggak ngulangin kesalahan yang sama."

"Maafin Tessa juga." Tessa menenggelamkan mukanya ke dada Edgar.

"Gue sayang banget sama lo, Tes."

Tiba-tiba terdengar suara pagar dibuka.

Edgar melepas pelukannya dan kontan menoleh.

Asti sudah muncul di ambang pintu.

"Eh, ada Edgar. Soriii ... "

"Ada apa, Kak?" Tessa tampak malu, segera mengusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata.

"Mama ngajakin makan bareng. Yuk. Sekalian sama Edgar."

Dan setelahnya Asti buru-buru pergi duluan.

"Kakak sih, main peluk-peluk aja!" Tessa manyun, segera ke belakang untuk cuci muka.

Edgar terima disalahkan. Pokoknya kalau sama Tessa, dia ikhlas deh disalahin terus, asal nggak diputusin. Bucin, bucin, deh!




Introvert Hangover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang