KEESOKAN paginya, Edgar menunggu Tessa di pos sekuriti, setelah semalam semua pesan dan panggilannya diabaikan.
Kata Asti, kemarin setelah rombongannya pergi, Tessa tidak ke mana-mana, di rumah saja karena beberapa temannya datang untuk membantu membuat doodle. Asti juga yang tadi pagi memberitahunya kalau Tessa akan berangkat ke sekolah dengannya.
Asti baru punya SIM dan mulai beberapa hari yang lalu berangkat ke sekolah membawa motor sendiri.
"Tes," panggilnya ketika gadis itu melewati pos sekuriti dari arah parkiran motor. Asti yang berjalan di sebelahnya segera berlalu untuk memberi privasi.
Tessa menghentikan langkah, tidak nampak terkejut. Sepertinya dia sudah melihat keberadaan Edgar tadi saat motor Asti membawanya melewati gerbang.
"Lo masih marah?" tanya Edgar ketika Tessa tidak juga menyahut. Wajahnya bahkan masih kaku seperti kemarin sore.
Tessa memandang ke arah lain saat berbicara. "Tessa mau ngerjain PR. Nanti pas istirahat aja kalau mau ngomong."
Edgar cuma bisa mengiyakan. "Ketemu di mana? Perpus?"
"Kantin aja sekalian makan."
Padahal kantin terlalu ramai dan nggak mungkin mereka bisa mengobrol. Tapi Edgar setuju saja. Yang penting Tessa tidak menghindarinya dulu.
"Oke," sahutnya kemudian.
Tessa mengangguk singkat. "Duluan, Kak."
Sepeninggalnya, Edgar mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.
Apa memang sebesar itu kesalahannya kalau dilihat dari sudut pandang Tessa? Soalnya dipikir bagaimanapun juga, dari sudit pandangnya, dia melakukan semua itu demi kebaikan Tessa, bukan demi dirinya sendiri, meski jelas caranya nggak bisa dibenarkan seluruhnya.
"Ribut, Gar?" tanya Pak Asep yang memperhatikannya dari dalam pos.
"Iya, nih."
"Biarin aja dulu. Nanti juga baik sendiri."
"Iya kalau baik, kalau kepancing sama yang lain gimana?"
"Astaga, bocah." Pak Asep tertawa geli. "Ya berarti nggak jodoh. Gitu aja susah."
Edgar makin kesal mendengarnya. Bukannya mendukung, malah menjatuhkan mentalnya.
Segera dia berjalan ke kelas, berharap waktu istirahat segera tiba.
¤ ¤ ¤
Waktu istirahat, Edgar langsung menuju ke meja kantin tempat dia dan teman-temannya biasa duduk, setelah sebelumnya memesan makanan untuknya dan untuk Tessa. Troy dan Ricis menyusul tak lama kemudian. Ricis sudah membawa banyak gorengan dalam sebuah piring, serta segelas es buah. Dia sedang ingin ngemil saja siang ini. Tidak mau makan berat.
"Mendoan, Ger." Ricis menawari Edgar yang tampak resah dan sebentar-sebentar mengecek notifikasi di HPnya.
"Sakit tenggorokan gue."
"Ck. Manja banget."
"Ya Allah ... sakit dibilang manja. Kalau gue paksa makan gorengan lagi, bisa-bisa gue beneran nggak bisa makan apa-apa lagi besok. Ini aja udah susah dipake nelen."
"Apalagi nelen pahitnya kisah cinta lo, ya." Troy tertawa jahat, yang tidak digubris oleh Edgar.
Rex muncul bersamaan dengan pesanan soto dan teh hangat Edgar. Rex pesan bakmi, sedangkan Troy pesan nasi goreng dan telur dadar.
"Tessa mana?"
Ck. Ricis emang bawel banget, batin Edgar, cuma bisa mengelus dada. "Gurunya masih belum keluar," sahutnya ngasal.
Dan tak lama kemudian yang sedang dibicarakan muncul di pintu kantin dengan wajah muram, sejenak celingukan, tapi segera menemukan Edgar di tempat biasa.
Edgar menepuk pelan tempat duduk kosong di sisinya, menggeser mangkuk soto ke hadapan Tessa ketika cewek itu akhirnya mendudukkan pantatnya di sana.
Troy dan Rex saling pandang.
"Kenapa kusut gitu muka lo, Tes?" Ricis nanya lagi. Sumpah, mulutnya minta dilakban. Edgar sudah waswas saja, melirik Tessa sekilas.
Gadis itu memandang Ricis lurus-lurus, seolah Edgar tidak duduk di sebelahnya. Biasanya Tessa memang cuek bebek. Tapi hari ini cueknya kelewatan.
"Biasa, Fisika. Dapet tugas lagi. Bejibun. Mana anak kelas Tessa pada nggak ada yang bisa Fisika. Dan kelas lain belum masuk bab itu, jadi nggak bisa nyontek."
Kemudian Tessa mulai makan setelah berbasa-basi menawari yang lainnya.
Edgar memperhatikannya makan sambil mengaduk teh di gelasnya, belum menyentuh mangkuk sotonya sendiri, bertekad masalahnya dengan Tessa tidak akan dia biarkan berlarut-larut. Ribut sehari saja sudah cukup.
"Rex jago Fisika, tuh!" Troy tiba-tiba nyeletuk.
Ricis mengiyakan. "Iya, bener. Ajarin, Rex! Jangan pelit-pelit sama adek kelas. Tetangga sendiri, pula!"
Tessa mengangkat wajah dari mangkuknya, menoleh ke Rex yang duduk di sebelah Edgar. "Mau bantuin, Rex?"
Rex ikut menoleh. Pandangan keduanya bertemu, dengan Edgar berada di tengah-tengah.
"Ya udah sih, santuy. Ke rumah aja kalo mau ngerjain." Rex menyahut santai sambil makan.
Edgar yang nggak santai karena dari tadi dicuekin terus, padahal rencananya pergi ke kantin tadi adalah untuk ngobrol dengan Tessa. Sementara gadis itu cuma mesem tipis mendengar sahutan Rex.
"Tapi Edgar rela gak tuh, ceweknya diajarin sama cowok lain?" Ricis nyeletuk.
Edgar berdehem. "Elah, Rex doang. Gue tahu Tessa mah nggak selera ngelihat dia."
Sahutan Edgar itu membuat Tessa langsung tersedak. Edgar segera mengulurkan gelas teh hangat dari tengah meja.
Tessa minum pelan-pelan.
Edgar mengusap-usap punggungnya dengan sayang, tapi cewek itu diam saja.
"Maafin gue, Tes." Edgar berbisik di telinganya, sambil menggeser gelas yang baru diletakkan Tessa di meja agak ke tengah agar tidak tersenggol. Sekilas diliriknya Ricis sedang mengeluarkan topik lain yang membuat parhatian Troy dan Rex teralihkan. "Nanti gue yang anter lo pulamg sekolah, ya. Please .... Di sini rame, nggak bisa ngobrol."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...