EDGAR membawa beberapa bungkus roti dan snack ke gazebo depan perpustakaan. Siang ini Tessa tidak mau diajak makan ke kantin karena harus segera menyelesaikan karikatur untuk tabloid. Semalam dia tidak bisa mengerjakannya karena sibuk mengerjakan PR sampai larut.
Edgar menemukan gadis itu duduk di salah satu meja dengan dua bangku agak panjang yang mengapitnya di kedua sisi. Meja itu muat untuk empat orang, tapi Tessa memonopolinya seorang sendiri. Buku-buku yang Edgar yakin tidak ada kaitannya dengan karikatur berserakan di atas meja untuk mencegah orang lain duduk nimbrung di mejanya, sementara dia sendiri sibuk menggambar menggunakan Wacom.
"Pasti kalo udah sibuk gini nggak kepikiran makan."
Edgar meletakkan keresek yang baru didapatnya dari koperasi ke atas meja. Tessa menoleh sekilas.
"Kalo udah laper, Tessa pasti makan, kali. Entah izin ke kamar mandi atau gimana alasannya ke guru ntar."
Edgar duduk di sebelah Tessa supaya bisa melihat hasil gambarnya.
Nggak perlu diragukan lagi. Bakat Tessa memang di situ.
Karikatur yang Tessa buat bertema emansipasi. Edgar cuma bisa mesem membaca judulnya. Girls on Top.
"Kenapa? Jelek?" Tessa mendongak, menatap Edgar dengan heran.
"Enggak, lah. Cuma gue ngerasa ini karikatur menggambarkan elo banget."
"Semua orang harus tahu potensi masing-masing. Makanya dari awal kita sekolah pasti udah digali-gali tuh kepribadian kita lewat berbagai tes. Biar nggak salah arah, dan potensi kita nggak sia-sia. Kalau memang punya jiwa leadership, ya kenapa enggak jadi pemimpin meski seorang cewek?"
"Elo punya potensi tapi nggak mau jadi pemimpin. Gimana, tuh?"
Urat-urat tegang di wajah Tessa akhirnya mengendur, dan gadis itu tertawa. "Siapa juga yang lagi ngomongin diri sendiri? Ini lagi ngomongin karikatur. Perempuan secara general."
"Iya, tahu. Tapi kan banyak juga cewek-cewek yang udah tahu bakatnya, tapi nggak mau mengeksplorasi bakat itu. Gimana menurut lo?"
"Yaa ... balik lagi ke pilihan. Kadang orang juga bisa lelah men-challenges diri sendiri. Ada suatu titik dimana mereka butuh chill out. Gimana sih cara ngomongnya? Ah Tessa nggak jago speaking, sih." Gadis itu kemudian mencomot satu teh kotak yang dibawa Edgar, sementara Edgar sendiri masih asyik memperhatikannya, sambil menahan senyum geli. "Semacam berdiam sebentar di zona nyaman gitu. Untuk memupuk energi, sambil update situasi, biar kalau suatu saat kondisi sudah memungkinkan, dia bisa mulai bertempur lagi."
"Kalau elo, Tes? Kapan pengen mulai bertempur lagi? Dan perang yang kayak gimana yang lo pengenin?"
Tessa meletakkan pen-nya dan mulai membuka bungkusan keripik kentang.
"Kakak kenapa bisa mikir aku ini sehebat itu?"
"Karena lo kenal diri lo sendiri. Tau bakat dan minat lo. Dan sekarang ini, dengan pilih ekskul dengan posisi paling nggak menantang seperti ini, menirut gue jelas lo lagi dalam fase istirahat."
"Iya, sih. Tapi semua orang juga gitu kali, Kak. Sebenernya kalau mau jujur ke diri sendiri, Tessa yakin semua orang tahu bakat dan minat masing-masing, tapi mungkin sebagian besar terlalu malas berjuang dan nyusun strategi untuk ngehadepin perang mereka, dengan dalih lagi fase istirahat itu, tapi malah kebablasan sampai malesnya mengakar banget. Tapi emang untuk saat ini Tessa juga belum tahu nanti pengen fokus ke mana. Pengen ngejar apa."
"Bikin analisis SWOT aja sih, Tes. Di antara semua potensi yang lo punya, yang paling mungkin untuk dikembangkan yang mana dulu, nanti pelan-pelan coba digali semua. Dulu gue pas awal kelas sepuluh juga gitu. Gue target. Pokoknya selama SMA, potensi apa aja yang pengen gue asah. Goal apa yang mau gue capai. Dan akhirnya gue pilih ikut seleksi OSIS, KIM, sama voli."
"Lah ini kan Tessa lagi mengasah potensi. Nggambar. Bikin doodle. Dapet duit pula. Bahkan Tessa bisa bagi-bagi rezeki ke temen-temen sekelas yang punya waktu luang dan mau bantu-bantu. Emang kelihatannya receh banget kerjaan Tessa. Kayak cuma main-main doang. Tapi siapa tahu ini nanti bisa jadi bisnis besar, kan? Yah paling nggak, sekarang udah bisa nyicil utang ke Kakak. Udah hampir lunas, malah."
"Ck. Masalah itu lagi lo ungkit-ungkit." Edgar membuang napas, mengulurkan tangan untuk mengambil teh bagiannya.
¤ ¤ ¤
Sorenya Edgar mengantar Tessa pulang. Ini minggu terakhir sebelum mulai bimbel intensif untuk persiapan UNBK, karenanya Tessa tidak menolak diantar pulang setiap hari.
"Mau makan dulu nggak, Tes?" tanya Edgar sambil mematikan mesin, dan Tessa segera melompat turun.
Tessa menggeleng. Menyerahkan helmnya ke Edgar. "Tadi kan karikaturnya belum selesai. Mau ngebut kelarin itu dulu. Makan gampang lah, nanti juga banyak pedagang yang lewat."
Edgar menerima helmnya, memperhatikan Tessa merapikn kunciran rambutnya yang tadi sempat dilonggarkan saat memakai helm agar tidak sakit. "Kok gue ngerasanya lo menjauh, ya. Jangankan jalan, pergi makan aja nggak mau."
"Tessa nggak kemana-mana."
"Tapi lo masih aja jaga jarak sama gue."
"Tessa sibuk. Banyak kerjaan. Kakak juga kan minggu depan mulai bimbel buat persiapan UNBK."
"Duit gue nggak usah diganti, Tes. Serius. Gue nggak mau lo nerima orderan sampai nggak tidur-tidur cuma biar bisa cepet balikin duit gue."
Tessa menggeleng. "Tessa nggak mau punya hutang budi ke siapapun."
"Oke, oke. Kalau dengan ngeganti duit gue bisa bikin hubungan kita balik kayak dulu lagi, gue sabar nunggu."
"Makasih untuk tumpangannya hari ini."
Hati Edgar mencelos. Padahal baru tadi siang dia merasa Tessa mulai membuka diri lagi. Tapi ternyata sore ini gadis itu kembali lagi menjadi Tessa yang dingin dan menjaga jarak darinya. Andai dia bukan cowok, dia pasti sudah menangis di situ juga.
Gue harus gimana biar lo balik lagi kayak dulu, Tes? jerit Edgar dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...