#15 Terlalu biasa

22.7K 3.6K 43
                                    


EDGAR dan sebagian panitia pemilihan Ketua OSIS sedang berada di aula. Sebenarnya sudah ada jadwal piket untuk panitia, sehingga mereka tidak perlu dispensasi seharian penuh untuk tidak mengikuti pelajaran. Namun hal itu tidak berlaku bagi Anggota inti, yang memang harus stand by terus di lokasi pemilihan.

Sekarang baru jam pelajaran pertama, dan yang mendapat giliran memilih duluan adalah kelas-kelas dua belas.

Edgar dan beberapa anak yang sebenarnya tidak di plot untuk bertugas, duduk-duduk di pagar beton yang membatasi teras depan aula dengan area taman dan kolam ikan.

"Itu kelasnya cewek lo, bukan?" tanya Troy, menoleh ke lapangan basket sambil membuka bungkus kripik kentang yang dirampasnya dari Aisyah tadi pagi.

Rex ikut menoleh ke tempat yang dimaksud. "Hmm. Tuh ada si Tessa."

Edgar mesem. Dia tidak hafal jadwal olahraga kelas Tessa.

Dan sekarang cewek itu sedang bertanding basket dengan teman-teman sekelasnya. Gerakannya lincah dan gesit. Rambutnya yang diikat ekor kuda nampak melambai-lambai saat dia berlari atau melompat untuk melakukan shot.

Tessa memang mudah dikenali dari jauh karena tinggi badannya cukup menjulang untuk ukuran cewek.

"Lo bisa suka sama Tessa, gimana ceritanya, Gar?" Rex yang bertanya.

Troy pun mulai dibuat tertarik dengan topik yang dibahas ini. Biasanya mereka jarang ngomongin cewek.

"Tumben lo peduli, gue suka sama siapa?" Edgar mendengus pelan.

Rex ngakak. "Nggak peduli juga sih. Heran aja. Mantan-mantan lo nggak ada yang modelannya kayak begitu."

"Iya, cewek-cewek lo biasanya yang blink-blink kayak artis K-Pop. Lo nggak pernah deketin adek kelas juga." Troy menimpali.

Edgar mengambil segenggam keripik dari bungkus yang dipegang Troy. "Emang Tessa kurangnya apa?" tanyanya balik.

"Ya nggak kurang sih. Kan gue dulu pernah bilang dia manis, kayak es teh. Tapi es teh kan terlalu biasa. Aneh aja dia bisa masuk radar lo. Ya kan, Rex?"

Rex mengangguk.

Edgar mesem lagi. "Nanti juga ada saatnya kalian capek berurusan sama cewek ribet yang kerjaannya pencitraan mulu."

"Jadi ini si Tessa lolos seleksi karena inner beauty gitu? Elaaah, sok banget lo."

"IQ dua digit kayak elo mana ngerti!" Edgar menimpuk Troy dengan sekeping keripik. "Gimana Rex menurut lo, si Tessa? Kan lo udah kenal lama tuh."

"Lho Tessa jelas qualified kalau menurut standar gue. Yang gue tanya tadi kan standar lo."

Edgar cuma mesem, ingat hari pertama MOS saat gadis itu mendatanginya. Teman-temannya mengira pasti dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Bullshit. Mana ada yang begituan di dunia nyata? Meski cowok memang makhluk visual, menilai lewat fisiknya dulu.

Dan memang fisik juga sih yang membuat sosok Tessa tertancap di memori Edgar. Tapi bukan wajah Tessa yang manis, atau bodi mantan paskibra dan pemain basket yang semampai, atletis, bak model catwalk itu. Tapi luka di kedua siku dan lututnya, yang sebenarnya cukup parah dan sampai hari ini masih membekas jelas.

Tessa yang sok tegar padahal jelas-jelas menahan sakit saat menemuinya di hari pertama MOS, dan Tessa yang dia tinggalkan di ruang OSIS sendirian sampai hari mulai gelap karena dia lupa dan malah keasyikan ngobrol dengan Pak Asep.

Tessa yang dihari kedua saat grup diskusi bisa berbesar hati menerima kritikan dari siswa lain dan Tessa yang dengan sabar mencoba menjelaskan pendapatnya dengan bahasa lebih sederhana pada teman-temannya yang sebenarnya cuma modal ngotot, padahal tidak paham apa-apa. Tessa yang tetap ikut merangkak di wahana jalur rintang saat outbond meski lukanya masih basah dan malah kabur ke toilet setelahnya untuk membersihkan lukanya sendiri. Tessa yang mandiri dan tidak suka cari perhatian.

Mungkin ada banyak cewek seperti Tessa di luar sana. Tapi yang jelas, junior satu ini tidak akan dia lepaskan untuk orang lain.

"Standar kita kayaknya sama lah. Kita nyari cewek not just to fill our heart, but our brain."

"Gile." Troy berdecak. "Tetep aja intinya inner beauty, kan?"

"Yoi."

"Tapi lo hoki banget sih, Gar. Bisa langsung tau ni cewek pacarable dalam dua hari MOS doang. Susah lho nyari tau karakter asli cewek. Biasanya mereka kan manis di awal doang. Nanti lama-lama ngalahin emak-emak resenya."

Edgar ngakak. Mantan-mantannya memang rese semua sih. Tapi dia tidak bisa menyalahkan mereka. Mungkin memang dia dan mereka kebetulan nggak satu visi aja. Dan salah dia juga, image-nya terlalu sempurna, sehingga cewek-cewek itu juga menuntutnya demikian. Padahal dia cuma anak SMA biasa, yang kadang-kadang kalau weekend pengen tidur atau ngegame seharian, pergi main atau sparring basket dengan teman-teman sekolahnya, atau ndusel-ndusel manja ke Mamanya di rumah. Dan kebanyakan ceweknya tidak bisa menerima fakta semanusiawi itu. Maunya dia sekeren Iron Man.

"Kalo gue pikir-pikir, yang aneh itu elo, Rex. Kan lo udah kenal dia lama. Tau kalo dia sebaik itu, tapi kenapa nggak lo pacarin?" Edgar melotot ke temannya.

Rex tertawa.

"Nanti kalau gue ceritain Tessa waktu kecil kayak gimana, lo bisa illfeel."




¤ ¤ ¤




Akhirnya tiba juga giliran kelas Tessa untuk memberikan suara. Gadis itu berjalan bersama ketiga temannya yang semalam Edgar temui di rumahnya, di rombongan paling belakang.

Sebagian besar cewek-cewek langsung masuk ke aula, sedangkan cowok-cowok duduk-duduk di luar, menunggu antrean meja absensi habis.

Edgar menarik tangan Tessa, mencegahnya masuk.

Tessa langsung melotot, dengan sigap langsung menoleh ke segala penjuru, takut dilihatin panitia yang dia tahu sebagian besar tidak menyukainya.

"Tadi pas istirahat lo makan apa?" tanya Edgar.

"Penting banget, sih, pertanyaannya?" Tessa sarkas.

Edgar jadi tertawa.

"Nanti gue usahain penghitungan suara sama evaluasi panitianya cepet biar bisa pulang bareng."

"Hmm ...." Tessa tidak langsung menolak. "Tapi kalau ternyata nggak bisa cepet, Tessa tinggal, ya? Pengen pulang cepet soalnya."

Edgar menjitak pacarnya dengan gemas. "Masih banyak yang perlu disiapin buat Persami?"

"Enggak, sih. Udah beres semua."

"Terus kenapa pengen pulang cepet?"

Aurel melongokkan kepala dari pintu aula, memanggilnya.

Tessa mengangguk dan buru-buru meloloskan tangannya dari cengkeraman Edgar.

"Mau nonton drakor." Gadis itu berbisik dan tersenyum jahil sebelum balik badan dan masuk ke aula.




Introvert Hangover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang