BUDHE bilang, Tessa lebay! Mau MOS saja persiapannya ngalah-ngalahin Mas Irham yang mau berangkat tes CPNS!
H-3 sudah keliling sekolah menghafalkan denah ruangan. Sudah pula menghafalkan muka dan nama-nama orang penting. Buat apa coba? Toh MOS zaman sekarang sudah beda sekali dengan zaman Mas Irham dulu. Nggak ada dresscode macem-macem, nggak ada perpeloncoan. Panitia sekarang mau aneh-aneh dikit takut didemo wali murid!
"Ini tuh bukan lebay, Budhe. Tapi well pepared." Tessa mendesah, sambil mencomot pisang goreng di meja, tapi langsung dia kembalikan lagi karena ternyata masih panas. "Tessa nggak tahu gaya bercandaan anak-anak Malang kayak gimana. Nggak lucu aja kalau sampai dijadiin bulan-bulanan di hari pertama sekolah."
Budhe tertawa. "Ya jelas lebih parah anak-anak Bandung, lah, Tes. Kamu nggak nonton Dilan emangnya?"
Tessa menghela napas pelan, mau mengelus dada takut dibilang tidak sopan. "Budhe tonton Yowis Ben, deh. Biar satu sama."
Kemudian ABG itu mengulum senyum, merasa menang telak, karena jelas Budhenya yang doyan ke bioskop sudah menonton film itu juga.
"Tessania Prameswari?"
Tessa terhenyak mendengar namanya disebut, langsung mengembalikan fokusnya pada senior berjas OSIS yang sedang berdiri di hadapannya sambil membaca daftar hadir khusus siswa terlambat―yang kebetulan hanya berisi namanya seorang, dengan tulisan cakar ayam, yang jelas sudah dia usahakan untuk menulisnya serapi mungkin.
Rupanya, saking jelek tulisan tangannya, panitia berwajah sangar ini jadi merasa perlu memastikan ulang yang dibacanya.
"Iya, Kak." Tessa menyahut pelan, menunggu perintah selanjutnya. Sebisa mungkin dia usahakan untuk tetap bersikap sopan, meski dari tadi sudah dibentak-bentak.
Bagamanapun juga, memang dirinyalah yang bersalah, jadi nggak boleh nyolot.
"Kamu boleh mengikuti MOS, dengan catatan setelah ini meminta izin langsung ke Ketua OSIS, dan membuat surat pernyataan!"
Gotcha! Dugaan Tessa memang tidak pernah meleset. Yang datang terlambat pasti disuruh menghadap ketua OSIS, atau minimal pengurus inti!
Meski terlambat jelas tidak ada dalam rencananya, setidaknya dia sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Biar nggak panik kalau kejadian, dan nggak dibodoh-bodohi, apalagi dibully!
"Baik, Kak. Terima kasih," sahutnya lagi, super duper santun.
Panitia itu bergegas pergi setelah gerbang sudah kembali tergembok dan Tessa telah memasuki halaman depan sekolah, membawa serta map berisi daftar hadir tadi.
Sebelum beranjak, Tessa menyempatkan diri mengangguk pada Pak Asep, sekuriti yang sedari tadi telah memberi dukungan moril dengan memperhatikannya dari dalam pos saat dirinya diinterogasi.
Tentu Tessa tahu namanya. Karena sekuriti sekolah jelas termasuk daftar orang penting.
"Eh, Neng!" Baru beberapa langkah berlalu, Pak Asep berseru di belakangnya.
Tessa menoleh. "Iya, Pak?"
"Itu siku sama lutut berdarah-darah gitu nggak mau diobati dulu?"
Tessa menggeleng. "Cuma lecet dikit, Pak. Nanti saya dimarahi kalau makin lama terlambatnya."
¤ ¤ ¤
Ruang OSIS berada di ujung deretan gedung bernama Student Center. Tepat di sebelah ruang pramuka. Di depannya nampak dua orang panitia MOS sedang duduk mengikat tali sepatu.
Tessa pilih berjalan pelan sambil menunggu mereka berdua menyingkir, biar nggak usah menjawab pertanyaan yang tidak perlu.
Namun, sialnya ternyata kedua orang itu malah berjalan menuju ke arah yang sama dengan posisinya sekarang, koridor depan mading.
Tessa menunggu dengan siaga, dan mengangguk sopan saat akhirnya berpapasan, tapi ternyata diabaikan. Kemungkinan besar panitia sudah berkoordinasi bahwa akan ada satu murid baru yang berkeliaran di sekolah mencari ketua OSIS.
Tessa cuek saja. Malah bagus kalau dia diabaikan, daripada dikerjai sana-sini.
Segera saja dia berjalan menuju ruang yang dituju.
Setelah melepas sepatu, mengetuk, dan mendapat sahutan dari dalam, dia langsung membuka pintunya.
Ruang OSIS berukuran seluas ruang kelas pada umumnya, berlantai karpet warna cokelat. Ada banyak meja kayu pendek di dalamnya, sederet rak, serta lemari loker di salah satu sisi dinding. LCD proyektor yang layarnya masih terbuka berada di tengah depan ruangan, menggantung dari langit-langit.
Tessa menoleh sekeliling. Masih ada banyak orang di sana, sebagian besar duduk melingkari meja dengan satu atau beberapa laptop terbuka di atasnya. Sebagian memakai jas, sebagian lagi hanya berkemeja seragam putih.
Salah seorang siswi yang duduk paling dekat dengan pintu menoleh padanya, agak terganggu karena pintu yang terbuka membuat layar laptopnya menjadi silau.
"Nyari siapa?" tanya gadis berambut ikal mengembang itu, agak judes.
Tersadar bahwa aktivitasnya mengganggu, Tessa segera menyingkir dan menutup pintu yang sedari tadi dipegangnya. "Nyari Kak Edgar. Tadi saya disuruh menghadap."
Gadis itu melakukan scanning cepat ke seluruh penjuru ruangan, dan menemukan satu wajah familier.
Edgar Samapta. Kelas XII IPA 2. Ketua OSIS.
Potongan rambutnya lebih cepak dibanding yang dilihatnya di buletin sekolah dua hari yang lalu. Tapi untung Tessa masih bisa mengenali meski sebenarnya dia bukan tipikal orang yang mudah mengingat wajah orang baru.
Memang benar kata orang. Cowok ganteng selalu mendapat pengecualian.
Segera saja dia permisi, lalu menghampiri orang yang dituju.
"Kamu yang datang terlambat itu, ya?" Edgar langsung bertanya, membuat Tessa seketika bersyukur. Dirinya tidak salah orang.
Hal kedua yang Tessa syukuri, ternyata Edgar ini tidak semenyebalkan yang Kak Asti, tetangga sebelah rumahnya yang sekarang naik kelas dua belas, jabarkan beberapa hari yang lalu. Setidaknya kali ini nada bicaranya ramah, dan itu jelas membuat Tessa jadi merasa tenang.
Entah memang kepribadian aslinya seperti itu, atau hanya karena dia pandai menempatkan diri, Tessa tidak ambil pusing.
"Silakan duduk."
Tessa mengangguk, mencopot tas punggung hitam yang dipakainya, kemudian memposisikan diri.
"Kenapa terlambat?"
Syukurlah juga, itu pertanyaan umum yang sudah dia persiapkan jawabannya.
"Tadi ojek yang saya tumpangi terserempet kendaraan lain, Kak. Kondisi drivernya agak parah, jadi saya nunggu sampai ada orang yang menolong dan mengantar ke Puskesmas dulu."
Cowok itu menautkan kedua alis. "Kamunya nggak pa-pa?"
"Nggak pa-pa. Cuma lecet dikit."
Tapi sang ketua OSIS terlihat skeptis, menutup laptop yang menghalangi pandangannya, kemudian menjulurkan kepala ke seberang meja. Tessa refleks menutupi luka di kedua sikunya.
"Diobati dulu. Biar diambilin P3K sama Seksi Kesehatan. Setelah itu kamu langsung nyusul ke aula biar nggak ketinggalan banyak. Nanti pulang MOS baru menghadap saya lagi untuk menyerahkan surat pernyataan."
Tessa menelan ludah.
Kemudian mengangguk.
"Baik, Kak. Terima kasih banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...