"DIKERJAIN lagi, Tes?" tanya Rex ketika melihat gadis itu kembali lagi ke pos panitia, entah untuk keberapa kalinya sejak tadi pagi. Teman-temannya memang kadang suka kelewatan. Dia sendiri pun kalau jiwa isengnya lagi kumat, kadang juga begitu. Mengerjai juniornya, terutama yang tengil, sampai kapok.
Untung cuma dia yang dijadikan sasaran kali ini, karena kebanyakan teman-temannya tidak tahu kalau dia dan Tessa saling kenal. Kalau cowok lain, mungkin makin menderitalah si Tessa ini.
Tessa mengangguk, menoleh ke kelompoknya yang duduk melingkar di salah satu bawah pohon pinggir lapangan, tempat senior yang memberinya hukuman sedang memperhatikannya dari jauh.
Seharian ini sebenarnya kegiatan mereka tidak berat. Pagi hari diberi materi kepramukaan, dan setelah ishoma sampai sekarang hanya diskusi. Tapi anehnya hampir semua seniornya bisa saja menemukan kesalahan kecil Tessa dan membuatnya diberi berbagai hukuman sejak pagi.
Tessa sebenarnya tahu itu cuma akal-akalan mereka biar dia merasa terbully. Padahal Tessa santai saja. Tidak peduli kalau semua senior ceweknya tidak menyukainya karena tahu dia pacaran dengan Edgar.
Kemudian segera diserahkannya setangkai bunga yang dipegangnya pada Rex, memastikan senior yang menghukumnya tadi melihatnya dari jauh.
"Maaf, ya, Tessa ngerepotin dari tadi. Nggak ngerti juga kenapa disuruh nyamperin elo terus, padahal panitia cowok yang lain banyak."
"Anak-anak emang suka iseng. Jangan dimasukin ke hati." Rex menerima bunganya dengan senang hati. "Biasanya gue kooperatif sih kalo diajak ngerjain orang, makanya gue mulu yang disodorin. Untung kan, mereka pada nggak tahu kita udah kenal lama?"
Tessa mesem. "Jangan bilang-bilang, ya. Nanti Tessa nggak punya pion lagi di pramuka kalo yang lain pada tau."
"Santuy. BTW, nyolong di mana nih kembang?"
"Metik di depan perpus." Tessa meringis. "Ya udah, Tessa balik lagi ke lapangan."
Malamnya ada acara api unggun dan penampilan yel-yel per kelompok, kemudian para peserta Persami digiring untuk istirahat di tenda masing-masing.
Namun, setelah lewat tengah malam, mereka dibangunkan lagi.
"Beneran ada jurit malam?" tanya Aurel sambil cepat-cepat memakai sepatu di depan tenda. Cemberut.
"Takut?" Judith yang bertanya balik.
"Ngantuk!"
Tessa mesem. "Besok pas pulang langsung hibernasi, lah. Untung Senin kita nggak ada PR, ya. Bisa molor sepuasnya."
Dan ternyata jurit malamnya tidak semenakutkan yang Tessa pikir. Mereka cuma disuruh berjalan perkelompok mengelilingi sekolah dengan rute berbeda-beda, tanpa penerangan, dan harus menemukan kertas berisi tugas untuk kegiatan besok pagi.
Yang bikin seram adalah karena sebagian besar panitia berdandan seperti hantu dan bersembunyi di balik seak-semak, serta membuat suara-suara aneh.
Banyak teman-temannya yang jejeritan, bahkan sampai menangis-nangis.
¤ ¤ ¤
"Aurel pingsan!"
Wulan memekik. Seluruh rombongan yang berjalan di depan kontan menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, sementara yang berjalan di belakang sudah mengerubungi Aurel.
Tasya memegangi kepala gadis itu agar tidak jatuh ke tanah.
Mereka sedang long march, entah sudah berapa kilometer berjalan sedari pagi.
"Gue bawa minyak kayu putih!" Judith yang semalam masuk angin mengeluarkan minyak kayu putih dari saku kemeja seragam pramukanya, langsung mendekati Aurel untuk menyadarkan.
Tidak ada orang lewat di sekitar situ. Jalan raya yang mereka lewati memang mengarah ke daerah perbukitan, jadi jarang dilewati.
Tessa segera membaca peta. Pos selanjutnya masih jauh. Tapi dia yakin ada banyak panitia bersembunyi di sepanjang jalur dan memantau peserta long march.
"Gue sama Judith duluan jalan ke pos, ngasih tau panitia. Yang lain tunggu di sini, kali aja ada panitia yang lewat. Atau kalau ada warga yang naik motor lewat, bisa minta tolong anter ke sekolah," ujarnya.
Yang lain mengangguk. Dia dan Judith bergegas pergi.
Tidak sampai sepuluh menit berjalan, Tessa mendengar namanya dipanggil.
Rex muncul dari balik semak-semak, dengan seorang panitia cewek. Tentu mereka herheran-heran melihat kelompok Tessa hanya tersisa dua orang.
"Kenapa tinggal berdua?"
"Kak, lapor!" Tessa tersengal-sengal, menoleh sekilas ke panitia cewek di sebelah Rex, yang kemarin juga ikut mengerjainya. "Temen kami ada yang pingsan."
Rex langsung meminta Tessa membawanya kembali ke TKP menggunakan motor, sementara Judith tetap menunggu di sub pos.
Aurel sudah sadar ketika mereka tiba, tapi masih tergeletak lemas di pinggir jalan dengan mata terpejam dan kepala berada di pangkuan Wulan.
Tanpa banyak tanya, Rex membantu juniornya itu naik ke motor. "Salah satu ikut ke sekolah," perintahnya.
Tessa yang ikut. Mereka boncengan bertiga, dengan Tessa bertugas memegangi Aurel agar tidak jatuh selama perjalanan, sementara para anggota kelompok sisanya Rex perintahkan untuk kembali melanjutkan kegiatan.
Seorang pembina dan panitia seksi kesehatan dengan sigap langsung menangani gadis itu begitu mereka sampai di sekolah.
"Kok bisa kecolongan? Padahal kan sebentar-sebentar panitia pasti nanya, ada yang sakit apa enggak?" tanya Rex pada Tessa di luar UKS.
"Dia nggak ngaku kalau lagi sakit. Dan tadi pagi juga kelihatan baik-baik aja pas mau pelepasan long march." Suara Tessa bergetar. "Padahal biasanya dia manja, dikit-dikit ngeluh. Tapi tadi dia diem aja sepanjang jalan."
"Surat sehatnya asli?"
Tessa mengangguk. "Asli. Ke Puskesmasnya sama gue. Mungkin sakitnya baru. Setelah dapat surat sehat."
Rex masuk ke UKS sebentar, kemudian kembali lagi dan menyerahkan air mineral ke Tessa.
"Minum dulu, Tes. Sorry gue nggak peka dari tadi. Lo pucet. Nggak lagi sakit juga, kan?"
Tessa menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. "Cuma panik aja."
Baru-baru ini heboh berita tentang murid-murid sekolah yang kecelakaan di sungai karena kegiatan pramuka dan memakan sepuluh korban jiwa. Mau tak mau Tessa juga jadi ketakutan sendiri.
Rex menepuk-nepuk pelan bahunya. "Tapi lo keren banget, tadi. Nggak kelihatan panik pas di depan temen-temen lo."
"Gue nggak sekeren itu."
Rex tidak mau membahas lagi, pilih duduk diam menunggu Tessa minum dan menenangkan diri.
Kalau Rex ada di posisinya, melihat teman pingsan di jalanan sepi, mungkin dia juga akan panik.
Sepuluh menit kemudian, lelakiitu bangkit. "Ayo balik ke lapangan. Paling bentar lagi juga temen-temen kelompok lo nyampe," ujarnya.
Tessa mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...