AKHIRNYA Tessa pulang sekolah sendirian karena meski penghitungan suara dan evaluasi panitia sudah dilaksanakan seefektif mungkin untuk mempersingkat waktu, masih ada aula dan segala perlengkapan pemilu yang harus dikondisikan seperti semula.
Karena besok ada kegiatan Persami untuk kelas sepuluh, maka kegiatan beres-beres mereka jadi tidak bisa ditunda lagi. Bahkan sebagian dari panitia yang juga merangkap menjadi panitia Persami diberi dispensasi untuk tidak mengikuti evaluasi karena banyak persiapan acara yang juga harus mereka urus.
Edgar baru bisa pulang dari sekolah pukul tujuh lewat, memutuskan langsung ke rumah karena Tessa menolak didatangi.
"Galau amat, Bang? Anak perjaka malem Sabtu di rumah aja, tumben?" goda Mamanya yang baru pulang arisan RT, melihat anak lelakinya yang jarang di rumah malah sedang rebahan di ruang tamu, padahal besok hari libur.
Edgar memindahkan kepalanya ke pangkuan sang Mama yang duduk di sebelahnya. "Anak-anak lagi pada ngapel."
"Kamu enggak? Atau lagi ribut?"
"Enggak lah. Tessanya nggak mau kalau tiap hari disamper. Takut diomongin tetangga."
"Nah itu ngerti." Mamanya malah tertawa, mengelus rambut putra semata wayangnya dengan sayang. "Kapan-kapan ajakin Tessa ke sini lah, Bang. Biar ngobrol sama Mama. Kayaknya asyik tuh anak."
Mama Edgar memang sering menyuruh teman-teman dan pacar anaknya ke rumah. Salah satu cara untuk memastikan bahwa lingkungan pergaulan anaknya sehat dan tidak akan membawa dampak buruk.
"Paling juga nggak mau. Dia nggak percaya kalau Mama sesantuy ini."
"Mama ngadain syukuran lengsernya kamu dari jabatan Ketua OSIS gitu, bilang."
"Mana ada syukuran turun jabatan, Ma?" Edgar mendengus. "Orang Edgar dilantik aja Mama nggak ngadain syukuran!"
"Lho bener Mama, dong. Syukuran itu ya setelah tanggung jawab selesai diemban dengan baik. Kalau baru dilantik kan Mama belum tahu kamunya bisa menjalankan amanah apa enggak."
Edgar merem. Males berdebat.
¤ ¤ ¤
Keesokan paginya, Edgar sudah ada di halaman depan rumah Tessa. Tak lama gadis itu keluar dengan seragam pramuka lengkap dan ransel besar, serta menenteng tongkat pramuka dan tongkat semapur yang sudah dipasang benderanya.
"Nggak sarapan dulu, Tes?" tanyanya. Sekarang masih jam setengah enam pagi. Apel pembukaan Persaminya nanti baru mulai jam enam. Masih cukup waktu.
"Nanti dapet dari panitia."
Jawaban Tessa membuat Edgar manyun dan segera menyalakan motornya kembali.
Dia sudah lupa dulu bagaimana persami angkatannya, jadi tidak tahu kalau peserta diberi sarapan di hari pertama.
Pramuka hanya wajib untuk kelas sepuluh. Dan Edgar memang tidak melanjutkan ekskul pramuka saat kelas sebelas karena sudah pusing dengan jadwalnya yang lumayan padat. Rex dan Troy yang masih tetap ikut sampai sekarang.
Tessa segera naik ke boncengan, memastikan tongkatnya tidak mengganggu pengguna jalan lain.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian mereka sudah tiba di sekolah.
"Udah, begini doang nih, ketemunya?" tanya Edgar saat menurunkan gadis itu di depan gerbang masuk. Anak kelas sepuluh lainnya sudah banyak yang berdatangan.
"Nganter ya gini doang. Mau gimana lagi? Kan Kakak yang maksa tadi. Padahal aku bisa naik ojol."
"Hmm." Edgar meraih tangan pacarnya dan menggenggamnya. "Baek-baek lu di sini yee. Jangan mau dimodusin panitia," nasihatnya.
"Panitianya kan kebanyakan juga temen-temen Kakak." Tessa mencibir.
"Justru itu. Kadang yang harus diwaspadai adalah orang-orang yang nggak pernah kita sangka bakal nikung."
Tessa segera melepas genggaman Edgar di tangannya. Ada seorang siswi diantar motor oleh ayahnya dan berhenti tidak jauh dari tempat mereka. Tessa merasa tidak enak hati.
"Sampai ketemu besok sore," ujar Edgar akhirnya, memakai kembali helmnya dengan enggan. Dan tatapannya jatuh pada seorang siswi lain yang diantar ibunya. "Itu pada cipika-cipiki, Tes. Lo nggak pengen juga?"
Tessa kontan mencubit lengan Edgar. Ayah siswi yang tadi juga jadi otomatis memandang ke arah mereka karena suara Edgar pasti terdengar sampai di tempatnya.
Tessa segera berlalu agar tidak semakin memancing perhatian.
Edgar langsung pulang lagi dengan lunglai. Sumpah, ini weekend paling membosankan seumur hidup. Tapi dia juga sedang malas mencari teman atau kegiatan lain. Dia mau tidur saja sepanjang hari sambil berdoa semoga hari cepat berganti.
"Bang, daripada luntang-lantung begitu mending temenin Mama belanja!"
Seruan dari arah kamar sang Mama kontan membuyarkan rencananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...