TESSA membuka mata perlahan.
Bau karbol menyengat hidungnya.
Dan yang pertama dilihatnya adalah Edgar. Duduk di kursi di samping tempat tidur. Sedang menggenggam tangannya dengan mata terpejam.
Jelas dia sedang berada di ruang rawat inap rumah sakit, entah telah berapa lama.
"Kak ...." panggilnya lirih.
Edgar membuka mata, langsung nampak bersyukur melihatnya sadarkan diri.
Lelaki itu lalu beringsut duduk di tepi ranjangnya, mengelus pipinya. "Akhirnya lo melek juga," gumamnya.
Tessa memejamkan matanya lagi, menikmati sentuhan lembut itu.
Rasanya hangat.
Membuatnya tersadar bahwa sudah sangat lama dia tidak diperhatikan sebegitunya.
Entah kapan terakhir kali Ayah dan Mamanya bergantian mendengarkan curhatnya sebelum tidur. Memberi tahu bahwa mereka bangga pada kerja kerasnya hari ini. Mengatakan tidak sabar ingin melihat pencapaian apa lagi yang akan diraihnya besok.
Dia sungguh rindu memiliki teman berbagi.
Dia takut hidup sendirian.
"Tessa kenapa? Yang bawa ke sini siapa?" tanyanya kemudian, dengan suara serak dan lirih, yang membuat hati Edgar tersayat saat mendengarnya.
"Jangan banyak ngomong." Edgar menyahut galak. "Kemarin-kemarin elo udah kebanyakan ngomong, sekarang ganti dengerin gue."
Edgar mengusap air mata yang sudah mengalir di pipinya tanpa sadar.
Gadis itu memejamkan mata lagi, memang belum sanggup untuk bicara banyak, meski saat ini selang infus sudah terpasang di pergelangan tangannya.
"Kenapa nggak cerita ke gue, sih, kalau ortu lo lagi bermasalah?" Edgar menurunkan nada bicaranya. "Gue udah tahu semuanya. Tadi Adek lo nelepon. Karena gue takut dia khawatir kalau nggak diangkat, ya udah, terpaksa gue angkat. Dan dia cerita."
Tessa menghela napas berat.
"Lo nggak percaya sama gue, Tes, makanya nggak mau cerita?"
Gadis itu menggeleng lemah.
Masalahnya memang bukan pada Edgar. Tapi dirinya sendiri.
Dia terlalu takut membuka diri pada orang lain.
Dia sudah hancur.
Dia tidak ingin menghancurkan orang lain juga.
"Gue juga anak broken home." Edgar melanjutkan. "Tapi nggak gue ambil pusing. Ortu gue jelas punya pertimbangan sendiri. Gue cuma anak kemarin sore, tahu apa? Ricis juga biar kelihatannya sableng gitu, dia sama kayak kita. Dan kami pasti ada buat lo kapanpun lo butuh dan pengen cerita."
Air mata Tessa mengalir lagi.
"Terharu kan lo, punya mantan sebaik gue?" Edgar mendengus pelan.
Tessa menyentuh punggung tangan Edgar yang mesih menangkup pipinya. "Maafin Tessa, Kak."
"Nggak perlu. Gue tahu rasanya jadi elo. Wajar kita bereaksi kayak gitu di umur segini. Ngerasa dunia kita runtuh. Nggak punya orang lain yang bisa dipercaya. Bangun pager tinggi-tinggi biar orang lain nggak bisa masuk, saking takutnya disakiti lagi."
Edgar menggenggam tangannya yang lain.
"Sorry karena gue nggak peka dan maksa ngelewatin batas yang lo bikin. Sorry karena gue belum layak jadi orang yang bisa lo percaya. Padahal semuanya butuh waktu, dan gue malah nggak sabaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Hangover [COMPLETED]
Teen FictionTessa pikir, menjadi murid SMA itu tidak jauh berbeda dengan menjadi murid SMP. Asal dia teguh pada pendirian, maka semuanya akan berjalan lancar. Namun, nyatanya semakin tinggi tingkatan sekolahnya, makin banyak pula yang harus dia hadapi. Dan beru...