Bagi orang, hari minggu itu bagai surga dunia. Tapi itu tak berlaku untuk seorang Ara, karena ia merasa kesepian di kosan lantaran hanya sendiri. Teman satu kosannya kebanyakan sibuk untuk sekedar bertemu keluarga, berkumpul dengan teman, atau berkencan dengan pacar.
Saat ini Ara hanya diam duduk di kursi, sambil melihat ke arah jendela. Bahkan matahari sudah sangat menunjukan sinarnya yang terang.
Bunyi suara perut, terdengar ke telinga Ara. Ia meringis, karena lupa bahwa dirinya belum memakan apa-apa sama sekali sejak tadi pagi. Ia hanya meminum air putih saja ketika sehabis bangun tidur. Seusai itu, dirinya langung membersihkan kamar dan berlanjut mandi.
Kink waktu menunjukkan pukul 09:15 pagi. Pantas saja ia merasa lapar, waktu sarapan sudah sangat lewat. Ara memutuskan untuk keluar mencari makan. Dirinya hanya berpenampilan sederhana, dengan rambut dikuncir satu, memakai pelembab dan bedak tipis, serta lip balm. Ia juga memakai setelan kaos putih panjang, dengan celana jeans hitam, tak lupa juga sepatu kets berwarna putih, yang ia beli saat gaji pertama kerja di Hans Cafè.
Ara mengambil sling bagnya dibalik pintu, juga meraih ponsel di atas tempat tidur. Kemudian ia keluar dan tak lupa mengunci pintu terlebih dahulu.
●●●
Ara berhenti di rumah makan sederhana, tempat ini menjadi langganannya saat sedang berlibur. Ia pun menuju meja kasir, untuk memesan makanan terlebih dahulu.
"Mbak, aku mau pesan ayam penyet plus nasinya juga. Em, minumnya es teh manis aja." Pesan Ara pada kasir tersebut.
"Oke. Tumben banget jam segini baru dateng?" ujar sang kasir yang memang sudah mengenal Ara. Seraya mencatat pesanan Ara.
"Iya, Mbak. Tadi lagi males-malesan di kosan. Eh, baru sadar kalo aku belum makan apa-apa sama sekali."
"Jangan dibiasain kaya gitu, Ra. Inget, jaga kesehatan! Kamu, kan, masih sekolah. Ditambah, kamu juga kerja tiap sore sampai malem, jaga badan kamu biar fit. Oh, iya, ini totalnya jadi dua puluh lima ribu, Ra."
"Ini, uangnya. Makasih atas perhatiannya, loh, Mbak. "
"Iya sama-sama, Ra. Ini uangnya pas, ya. Ya udah tunggu aja, nanti di antar."
"Oke, makasih." Ara pun menuju meja kosong dan mendudukinya.
Beberapa menit kemudian, pesanannya pun datang dan ia mulai menyantapnya dengan lahap.
Seusai makan, Ara tak lupa mencuci tangan di wastafel yang berada di rumah makan tersebut. Ia juga pamit kepada mbak Arini, yang bekerja sebagai kasir di sana.
Ara menyusuri jalan tanpa henti, karena ia tak tahu harus ke mana lagi setelah ini. Sekarang ia dilanda bingung, waktu pun sudah menunjukan pukul 11:00 siang.
Tiba-tiba saja, dirinya teringat akan sesuatu. Hari ini ada jadwal untuk ia mengajar tari. Dia mengajar adik kelas sepuluh di sekolahnya, bernama Maurin. Kemudian Ara memutuskan untuk menghubungi Maurin terlebih dahulu.
"Halo, Kak." Maurin menyapa dari seberang sana.
"Halo, Maurin. Em, kamu jadi latihan dance?"
"Ah, iya jadi-jadi, Kak. Aku pikir Kakak lupa, loh. Aku niatnya tadi mau hubungin kakak, tapi aku disuruh bantuin mamah buat kue tadi, jadi lupa. Kakak ke rumah aja, aku shareloc, ya, Kak."
"Oh gitu. Iya gak apa-apa, kok. Ya udah, aku matiin, ya. Nanti aku langsung ke sana."
Ara mematikan sambungan teleponnya, dan ia mulai membaca pesan dari Maurin yang berisi lokasi tempat tinggalnya. Seusai itu, Ara segera melangkah pergi menuju tempat Maurin.
●●●
Sehabis mengajarkan Maurin dance, Ara memutuskan untuk pulang ke kosan. Karena hari juga sudah mulai sore.
Ketika sampai di kosan, ia dikejutkan oleh seseorang yang saat ini sedang duduk di teras.
"Ini dia anaknya, dari mana aja kamu? Cepet buka pintu!" ujar pria yang ada dihadapannya, tepat di teras depan kamar.
"A-- ayah, kapan dateng ke sini?" Ara terkejut lantaran ayahnya datang ke kosannya. Sudah selama itu, kenapa baru muncul sekarang? pikirnya.
"Gak usah banyak tanya, cepet buka pintu! Saya mau minta uang kamu. Kalo memang gak ada di dalem, itu berarti ada di tas yang kamu pake sekarang. Iya, kan?" Pria itu menghampiri Ara seraya tersenyum miring.
"G-- gak ada, Yah. A-- aku lagi gak pegang uang banyak sekarang," dusta Ara pada pria tersebut.
"Bohong kamu. Siniin tasnya!" Pria itu segera merebut tas dari tangan Ara.
Pria yang disebut ayah oleh Ara itu, mengeluarkan semua yang ada di tas kecil milik Ara. Semua berantakan di teras depan pintu kamar.
"Ayah udah! Gak usah berantakin tas aku, Yah." Ara berujar dengan serak, karena air matanya sudah hampir keluar.
"Sialan! Ini apa kalau bukan uang, HAH? Dasar anak pembawa sial!" Pria itu langsung mengambil semua uang yang ada di dompet Ara, dan melemparnya begitu saja tepat di perut Ara.
"Ambil tuh dompet, saya gak butuh."
"Yah, jangan diambil uangnya. Itu buat ongkos sehari-hari aku sekolah, Yah." Ara berujar dengan derai air mata yang tak bisa dibendung lagi.
Pria itu langsung pergi begitu saja menggunakan motor maticnya. Meninggalkan Ara seorang diri, yang memanggil nama pria tersebut
"Yah ... Ayah ..." Ara memanggil dengan berteriak, saat pria itu sudah jauh tak terlihat dari pandangannya.
"Ayah, balikin uang Ara." Ara berlari keluar gerbang kosan.
"Ayah, jangan pergi!"
"AYAH."
Ara membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan gontai menuju depan kamarnya. Ia menangis dengan tersedu-sedu, seraya membereskan semua barangnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kemudian, ia membuka pintu dan langsung menutupnya.
Beruntung, di kawasan kosan saat itu sedang sepi. Jadi tak ada yang tahu atas kejadian yang baru saja ia alami.
"Ayah belum berubah ternyata. Kenapa Ayah kaya gini? Jujur, aku kecewa sama Ayah." Monolognya, seraya terus menitikan air mata yang terus mengalir.
________
Terima kasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDREAS (End)
Teen FictionAndreas Kenaan. Cowok tampan bermulut pedas, tidak peduli akan lawan bicaranya siapa. Jika memang mereka sudah mengganggu ketenangannya, siap-siap saja mendapat sumpah serapah yang kasar dari mulutnya itu. Punya sorot mata yang tajam, sehingga siswa...