Ara berkutat di depan kompor serta wajan. Tas yang ia pakai, disimpan di sofa ruang tengah. Ia juga memakai kaos hitam polos milik Andre, lebih tepatnya Ara meminjam baju Andre. Karena tidak ingin jika nanti seragamnya kotor terkena bumbu masakan. Meskipun sudah memakai apron, tak ada kemungkinan untuk terkena kotoran bukan?
Sejak tadi, Andre hanya memerhatikan Ara yang serius memasak. Pikirnya, mungkin itu memang passion seorang Ara, terlebih dia bekerja di sebuah kafe dan tinggal di kosan cukup lama. Untuk itu ia percaya kalau Ara bisa memasakm
"Makanan siap," ujar Ara seraya meletakan semua masakannya ke meja makan. Kemudian, ia pun mengambil wadah dan meletakkannya di atas meja.
"Ayo, di makan! udah bela-belain, ni, gue masak di rumah lo, Kak."
Andre menatap makanan itu dan menatap wajah Ara secara bergantian. Tangannya mulai bergerak mengambil nasi serta lauk pauk yang ada.
Respon Andre hanya mengangguk-anggukan kepalanya seraya mengunyah. Ara sebenarnya sudah harap-harap cemas dengan masakannya. Takut-takut jika makanan itu asin, hambar, atau tak enak sama sekali.
"Gimana, Kak, rasanya? Kalo gak enak bilang, ya."
Reaksi yang diberikan oleh Andre, hanya mengangkat ibu jarimya sebelah kanan. Seusau itu, ia melahap kembali makanan tersebut.
Senyum terbit dari bibir Ara, melihat Andre selahap itu membuat dirinya senang. Karena tidak sia-sia dirinya di ajak ke rumah Andre untuk memasak.
Ara tak berhenti tersenyum karena Andre benar-benar lahap hingga tiga kali nambah. Karena sudah melebihi makannya, Andre menegakkan tubuhnya dan bersandar di belakang kursi.
Andre mengerutkan dahinya, kala melihat Ara yang terus memerhatikan dirinya.
"Kenapa liatin gue kaya gitu?" Ara lagi-lagi hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kesambet lo ya? senyam-senyum mulu dari tadi." Andre berujar seraya menyentil dahi Ara.
"Ck, Kak. Reaksi lo gini banget, si? Harusnya bilang makasih gitu ke gue, ini malah main nyentil dahi gue aj. Sakit tau." Ara memanyunkan bibirnya karena kesal dengan Andre.
"Iya-iya, makasih. By the way, makanan lo enak. Maaf kalo gue tiba-tiba maksa lo buat masak di sini dan nyiapin semuanya buat gue."
"Nah, gitu dong. Sama-sama Kak Andre, dan makasih juga atas pujian lo. Ya, sebenernya gue gak keberatan, si, kalo buat masakin lo. Cuma gue bingung aja, kenapa lo tiba-tiba maksa gue untuk ini?"
"Nanti gua jelasin, lo makan juga, gih!" titah Andre pada Ara.
Tanpa membantah, Ara segera mengambil piring, dengan diisi nasi serta lauk-pauk yang ada. Ia juga mulai menyantap makanan tersebut dengan hati yang cukup senang.
●●●
Andre dan Ara, kini tengah berada di sisi kolam renang. Seperti yang tadi Andre ucapkan, jika ia ingin menjelaskan maksud dari semua itu.
Andre pun mulai mengeluarkan suaranya, dengan nada pelan juga wajah yang sendu.
"Gue rindu Bunda, dan gue rindu masakannya. Bi Jum, asisten rumah tangga di sini, cuti dalam satu minggu. Karena anaknya mau menikah. Biasanya kalo gue makan itu, di rumah Kento atau juga makan di luar. Jujur aja, gue lebih suka masakan rumahan dibandingkan harus makanan luar. Meski itu makanan ala rumahan juga, seperti warteg. Tapi kalo gue makan di rumah Kento, justru gue gak enak, karena terus-terusan bergantung sama mamah Gemi, nyokapnya Kento ...
"Kebetulan tadi itu gue liat lo di jalan. Jadi, apa salahnya kalo lo gue ajak ke sini buat masakin gua? Gue mikirnya gitu. Karena semenjak gue tau lo kerja di kafe dan ngekos, gue yakin kalo lo emang bisa masak. Terbukti, kan, tadi? Dan masakan lo enak, gue akui itu." Andre menjelaskan semua hal itu pada Ara. Entah mengapa, ia menjadi lebih terbuka jika bersama Ara.
"Em, gitu. Pantesan lo maksa gue buat ikut ke sini. Makasih banyak, karena lo udah hargai masakan gue. Em, kalo boleh tau ... Bunda lo ke mana?"
"Udah meninggal, dua tahun yang lalu setelah kelulusan SMP."
Ara terkejut mendengar penuturan Andre. Ternyata yang dirasakan oleh Andre dan dirinya itu sama. Sama-sama ditinggalkan oleh orang yang penting dan sangat disayangi dihidupnya.
"Maaf banget, Kak, gue gak maksud." Sesal Ara karena sudah membahas tentang keluarga Andre.
"Gak apa-apa, gua gak biasa seterbuka ini selain sama Kento dan mamah Gemi. Dan lo orang luar pertama yang bisa buat gue terbuka, entah kenapa gue bisa sepercaya itu sama lo."
"Makasih banyak, Kak, lo udah beri kepercayaan itu ke gue. Nasib kita sama kok, Kak, ditinggal oleh orang yang bener-bener kita sayang."
"Berarti yang tadi di figura itu, Bunda sama Ayah lo?"
"Iya."
"Apa, ayah lo kerja?" tanya Ara dengan nada yang terdengar hati-hati.
"Iya." Mendapat jawaban yang singkat seperti itu, Ara hanya mampu diam dan tak ingin meneruskan perkataannya kembali. Karena ia merasa sudah terlalu masuk ke privasi seorang Andre. Ya, meskipun tadi dia menceritakannya sendiri tentang keluarganya. Dengan begitu berarti masih ada privasi lainnya yang tak harus ia ketahui, pun ia hanya orang baru di kehidupan Andre.
"Lo, kenapa ngekos?" tanya Andre setelah beberapa saat terdiam.
"Karena gue gak punya tempat tinggal." Alis Andere di naikan sebelah, tanda ia masih ingin tahu kelanjutannya.
"Waktu gue SMP, gue masih bisa merasakan layaknya keluarga yang harmonis. Ibu yang selalu sayang sama gue, dan ayah yang selalu jadi tempat adu gue kala di nakalin sama teman cowok. Saat kelas tiga semester awal, gue udah liat tingkah ibu yang mencurigakan. Dia yang selalu batuk-batuk, kepalanya sering pusing, juga hidungnya selalu mimisan. Beberapa bulan kemudian, gue liat ibu pingsan di kamar, saat itu gue baru banget pulang sekolah. Otomatis gue syok banget, gue langsung bawa ke Rumah Sakit terdekat dan ternyata, ibu gue terkena sakit kanker otak stadium akhir. Dari situ, hidup gue bener-bener hancur seketika. Saat Ibu sadar, dia cerita ke gue kalo penyakitnya itu udah lama menggerogotinya, dari gue masih di bangku kelas enam. Awalnya memang masih stadium awal, dan pada saat itu efeknya pun biasa-biasa aja ...
"Gue sampai jual kue, gorengan, kuli nyuci. Apapun yang bisa gue kerjain untuk bisa biayain ibu, meskipun memang jauh dikatakan cukup. Ayah, setelah beliau tau ibu sakit, gak pernah ada di rumah. Setiap pulang gue selalu mencium bau alkohol dari badannya dan emosinya pun tak terkontrol. Terkadang gue juga selalu menjadi pelampiasannya ...
"Gue ini hanya anak remaja yang baru pubertas, tapi kenapa ayah selalu nyiksa gue dan melempar benda apapun untuk meredam kekesalannya itu? Puncaknya, saat gue lulus dan sedang di acara kelulusan. Gue tiba-tiba dapet kabar, kalo ibu gue meninggal. Dunia gue pun hancur seketika. Gue nangis dan langsung izin pulang ...
"Selesai pemakaman, gue balik ke rumah. Tapi ketika gue sampai di sana, tas berisi baju serta berkas-berkas yang lain ada di luar, gue tanya sama ayah, ternyata rumahnya udah dijual. Gue gak tau saat itu harus gimana, mau nangis gak bisa, marah juga buat apa? Ayah cuma kasih uang ke gue seratus ribu dan dia pergi gitu aja. Katanya, Ayah udah lepas tanggung jawab sama kamu. Itu nyesek banget, si. Kan, gak ada yang namanya mantan anak, harusnya masih tanggung jawab dia sebelum gue menikah. Dan coba bayangin uang segitu cukup buat apa? Sementara tanggungan biaya Rumah Sakit aja gue masih ada. Bersyukurnya lagi, pihak Rumah Sakit memaklumi hal itu, kebetulan gue juga menjelaskan keadaan gue yang memang dalam masa terpuruk ...
"Setelah itu, gue pun nyari kontrakan dan kosan yang uang mukanya seratus ribu, tapi sayangnya gak ada. Ya, gak aneh juga, si. Di kota sebesar ini mana mungkin ada yang murah. Gue pun bingung, akhirnya uang itu gue pakai aja buat gue beli makan dan keperluan yang lain. Di situ lah gue buntu malam-malam, luntang-lantung di jalan tanpa arah dan tujuan. Sampai akhirnya, mas Hans pemilik Hans cafè mau nolongin gue. Dia juga yang biayain administrasi Rumah Sakit ibu gue, dan gue juga ditawarin kerjaan sama mas Hans. Gue terima dan gak nolak, dong. Setelah gajian, gue langsung cari tempat kosan buat gue bertahan hidup. Karena gue gak mungkin terus-terusan tinggal di kafe dan menyusahkan mas Hans." Ara menjelaskan itu tanpa cela. Andre yang mendengar pun tak menyangka, jika Ara yang dikenal ceria dan ceroboh, punya sisi kelam juga sepertinya.
________
Terima kasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDREAS (End)
Ficção AdolescenteAndreas Kenaan. Cowok tampan bermulut pedas, tidak peduli akan lawan bicaranya siapa. Jika memang mereka sudah mengganggu ketenangannya, siap-siap saja mendapat sumpah serapah yang kasar dari mulutnya itu. Punya sorot mata yang tajam, sehingga siswa...