"Ka-kalian...?"
DOR!
"Surprise~! Selamat ulang tahun!" Ucap 3 mahasiswa di depanku sambil membawa kue dengan lilin di atasnya. Aku terlalu kaget hingga mengabaikan taburan confetti yang kini menghiasi kepalaku.
'Selamat ulang tahun? Memangnya ini ulang tahunku?' Aku masih kebingungan. Mereka mulai mengucapkan selamat secara bergantian dan aku membalas ucapan mereka dengan terima kasih.
"Kami tidak menyangka kau tidak menyadarinya." Ucap Heinrich sahabat laki-lakiku.
"Ya, aku kira kita akan ketahuan. Ketua angkatan kan sangat peka. Seperti mempunyai indra ke-enam!" Balas Herbert, sahabatku yang lain.
"Kita hampir ketauan karna kau menyapa dan hampir mengucapkan selamat ulang tahun padanya tadi pagi!" Isabel berkata dengan nada kesal dan memukul kepala Herbert main-main. "Sekali lagi, selamat ulang tahun ya, Merle."
"Oh iya, terima kasih Isabel." Aku tersenyum. 'Kenapa aku bisa lupa? Ini ulang tahun 'Merle'. Untung saja aku belum berkata pada mereka kalau ulang tahunku sudah terlewat.' Diam-diam aku menghela nafas lega. Sudah hampir 4 tahun aku menggunakan identitas 'Merel Bleu', tapi aku masih belum terbiasa.
Setelah itu, Mrs. Waldner dan teman-temanku menyuruhku membuat permohonan dan memotong kue. Tidak lupa mereka mengajakku foto bersama untuk diunggah ke media sosial. Sebagai ucapan terima kasih, aku mengajak mereka semua untuk makan di kantin, tapi Mrs. Waldner menolak. Katanya, beliau tidak ingin mengganggu acara anak-anak muda dan sudah puas dengan nilai sempurnaku di mata kuliahnya.
"Beli apa saja yang kalian mau. Aku yang akan membayarnya." Ucapku.
"Harusnya kau traktir kami di Louis Café..." Eluh Herbert sambil menyandarkan kepalanya di meja, yang langsung disambut pukulan oleh Isabel. Louis Café adalah tempat berkumpulnya mahasiswa dari kampus kami.
"Maaf Herbert, aku juga ingin mentraktir kalian di café atau restaurant, tapi aku ada kerja sambilan dan harus belajar sehabis kuliah."
"Ya, Herbert. Merle itu murid beasiswa, dia harus mempertahankan nilainya. Kau kira dia mendapatkan nilai itu dari mana? Memuja iblis pada jam 12 malam sepertimu?" Omel Isabel panjang lebar. Herbert memutar bola matanya dan mencibir Isabel.
"Aku hanya bercanda kawan-kawan..." Ucapnya sambil memelas. Kami semua tertawa kecil.
"Ya aku tau. Aku hanya ingin menghinamu saja." Jawab Isabel sambil menyeruput es teh di depannya. Herbert langsung memberikan senyum sinis pada Isabel.
"Ngomong-ngomong Merle, apa kau memiliki saudara atau sepupu bernama Natasha?" Tanya Heinrich tiba-tiba.
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku memandangi Heinrich selama beberapa saat. 'Tenang Natasha, tenang...' Ucapku dalam hati. "Kenapa memangnya?" Aku balik bertanya dengan wajah terpolosku.
"Tadi pagi aku dihadang oleh dua pemuda yang menanyakan tentang perempuan bernama Natasha Bleu. Karena nama belakangnya sama, aku pikir mungkin dia salah satu kerabatmu."
"Oh! Dua laki-laki tampan itu!" Jerit Isabel. "Mereka juga menanyaiku tadi pagi. Mereka bilang mereka mencari seorang perempuan dengan rambut sedada berwarna coklat tua dan bermata biru. Lalu aku bilang kalau ada banyak mahasiswa di sini yang seperti itu. Ada kau, Anneli, Corla, asisten dosen kita dan masih banyak lagi. Akhirnya mereka menyebut nama Natasha Bleu. Karena aku tidak kenal, aku menyarankan mereka untuk bertanya ke bagian administrasi." Jelasnya panjang lebar. Aku, Herbert dan Heinrich mengangguk-anggukz.
"Memang setampan apa mereka?" Tanyaku dengan wajah penasaran dan tertarik. Tentu saja ini hanya acting. Dua laki-laki itu mengetahui jari diriku, aku harus mencari tahu tentang mereka.
"Wow, apa kau benar-benar Merle? Baru kali ini aku lihat kau tertarik dengan laki-laki..." Heinrich terlihat kaget dan kecewa di saat yang bersamaan.
"Diamlah, Heinrich. Merle juga wanita." Desis Isabel, lalu berpaling padaku dengan wajah yang sangat serius. "Seperti kataku tadi, mereka tampan. Sangat. Tampan. Satu di antara mereka memiliki mata berwarna biru yang tajam, sikapnya sedikit kurang ajar tapi itu yang membuatnya menarik. Ditambah lagi rambut sebahunya yang berwarna hitam terlihat acak-acak. OMG, Merle, dia sangat liaaar!" Jerit Isabel untuk kedua kalinya. "Oh ya, dan namanya Jeffery."
'Wow, dia bahkan memberikan namanya? Oh, tentu aja itu nama samaran. Bodohnya aku.' Aku kembali menampakkan wajah penasan dan tertarikku. "Bagaimana dengan yang satu lagi?"
"Hmmm... Yang satu lagi juga tampan tapi dia bukan tipeku. Dia tipe laki-laki pendiam dan cool. Dia memiliki rambut pendek berwarna coklat yang terlihat lembut, lalu matanya yang hijau terlihat... kosong? Atau mungkin lebih tepatnya cuek. Dia dan Jeffrey benar-benar bertolak belakang." Isabel mendeskripsikan laki-laki kedua dengan kurang tertarik. Tidak seperti saat Ia mendeskripsikan Jeffrey.
'Rambut pendek coklat dan mata hijau... Apa mungkin itu Ryan?' Aku menelan ludah. "Siapa namanya?" Tanyaku sambil berharap.
"Kau penasaran dengan yang kedua? Ah, sayang sekali. Dia hanya diam di samping Jeffrey. Jadi aku tidak tau."
Aku sedikit kecewa mendengar jawaban Isabel. 'Mungkin laki-laki itu Ryan, karena itu mereka tau identitas asliku dan mencari...' Aku kembali berharap. Aku tersenyum karna akhirnya menemukan secercah harapan untuk bertemu Ryan.
"Hei, kalian juga harus segera memesan makanan. Setelah ini kita ada kelas. Berhentilah bergosip." Ucap Heinrich dengan nada yang terdengar kesal. Ku lihat dia dan Herbert sudah membawa Currywurst di tangan masing-masing. Currywurst adalah sosis besar yang diberi saus merah dan taburan curry serta lada.
"Dasar berisik..." Gerutu Isabel. "Kau di sini saja, Merle. Aku akan memesan makanan kita. Karena aku satu-satunya gentleman di sini." Desis Isabel sambil menekankan kata 'gentleman', kata-katanya membuatku tertawa. "Satu Spaghetti Bolognese,kan?"
"Ya, terima kasih, gentleman." Ucapku masih tertawa.
--- TIMESKIP ---
"Aku lihat mereka pergi ke arah perpustakaan."
"Terima kasih." Ucapku pada perempuan di depanku.
Setelah pelajaran usai, aku berkeliling untuk mencari Jeffrey dan laki-laki yang kemungkinan Ryan. Untungnya mereka masih berada di kampus dan cukup mudah mencari mereka karena laki-laki yang bernama Jeffrey ini mendadak terkenal di kalangan perempuan di kampusku. Dalam arti baik dan buruk.
'Kenapa mereka harus masuk ke sini...' Aku mengeluh dan memasukkan nomor mahasiswaku ke mesin login.
BIP! BIP!
'Ugh... Aku tidak tahan dengan bau buku-buku lama yang bercampur debu ini... Baunya seperti kertas basah, tetapi sangat menyengat.' Aku masuk ke perpustakaan sambil menutup hidungku. Ku sadari memiliki menciuman tajam tidak selamanya bagus.
Aku hendak menyusuri lorong rak buku satu per satu dan tiba-tiba teringat sesuatu. 'Tunggu... Hanya mahasiswa dengan nomor mahasiswa kampus ini yang bisa masuk. Mereka kan orang luar, tidak mungkin mereka bisa masuk ke sini...' Aku menghela nafas panjang. "Kenapa aku jadi kikuk begini..." Aku berbalik dan menuju ke pintu keluar.
Tapi tiba-tiba aku terhenti.
"Ryan...?" Sekilas aku mencium bau lembut di antara bau buku lama, seperti perpaduan mint dan kayu manis. 'Ini bau Ryan.' Aku merasa sangat senang, aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di bibirku dan jantungku berdegup sangat kencang.
Sekilas aku melihat seseorang masuk ke lorong rak buku ketiga. Tanpa berpikir aku langsung lari menujuk ke lorong rak itu. Sesampainya di sana aku melihat seorang laki-laki mengenakan hoodie hitam sedang mengambil sebuah buku di rak atas. Rambutnya coklatnya membelakangiku. 'Itu Ryan!' Aku sangat senang hingga menitihkan air mata. Pencarianku selama 3 tahun terbayarkan.
"Ryan! I miss you so much... I'm sorry... (Aku sangat merindukanmu... Maafkan aku...)" Isakku sambil memeluknya dari belakang.
Tapi dalam sekejap tangisku berhenti, aku merasakan ada yang berbeda...
______________________________Part ini flat banget sih menurutku, tapi gpp, kalo bunuh-bunuhan terus bosen juga LOL
Oh ya, jangan lupa buat vote dan comment guys!
Thank you~
Next update : antara Kamis - Minggu
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu dengan Creepy Pasta [Creepypasta x Black Wolf] - Black Wolf Season II
FanfictionTiga tahun sudah berlalu sejak aku mendapat petunjuk dari laki-laki yang ku cari - Ryan. Tapi... sejak aku berada di German, kabar tentang Ryan menghilang begitu saja. Aku malah bertemu dengan pembunuh-pembunuh berantai yang tidak biasa. Sepertiku...