Sebulan penuh Rangga masih terbaring koma. Badan gue remuk karena bekerja keras dan kurang tidur. Ditambah lagi lelaki brengsek yang selalu datang setiap tengah malam dan mengajak gue berbicara. Rasanya gue ingin berteriak sekeras-kerasnya kalau gue ingin sendiri dan menikmati waktu istirahat gue!
"Kepala gue sakit. Kalau pembicaraan lu masih sama di seputar nikah, lebih baik lu pergi." Kata gue emosi.
Rasanya kepala gue mau pecah! Setiap hari lelaki ini berbasa basi menanyakan kabar, pekerjaan gue, keadaan Rangga yang selalu sama, keadaan gue, bahkan paling parahnya lelaki ini selalu mengajak menikah!
"Maharani, gue mohon. Anggap aja lu manfaatin gue, manfaatin kekayaan dan belas kasihan dari gue untuk kehidupan lu. Menikah dengan gue, dan gue jamin lu ga akan kekurangan suatu apapun!" kata lelaki itu.
Gue melotot kaget dengan perkataannya kali ini. Apa dia bilang? Manfaatin dia?! Mana mungkin gue orang sejahat itu! Gue ga bisa manfaatin orang. Sekalipun orang itu sudah mencelakakan gue dan Rangga, sekalipun gue sudah ga perawan lagi, sekalipun Rangga koma... gue ga akan bisa semudah itu berpikir jahat.
Gue menghela nafas panjang. Sepertinya lelaki di hadapan gue ini mulai gila. Lebih baik gue benar-benar bicara dengan lelaki ini sebelum dia berpikir semakin jauh dari kenyataan.
"Kita ke kafetaria." Kata gue lalu berjalan mendahului lelaki itu ke kafetaria.
Gue membeli dua gelas kopi dan mengambil tempat duduk di pojokan kafetaria. Sekarang jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, kafetaria sepi. Hanya ada dua orang perawat yang duduk berjauhan dari tempat gue dan lelaki ini.
Lelaki itu, Rico, duduk di hadapan gue. Penampilannya jauh lebih kacau dibanding sebulan yang lalu. Rambut-rambut halus tumbuh di sekitar rahangnya, kantung matanya mulai tampak nyata, dan pancaran matanya mulai redup. Jika dilihat lebih teliti lagi, Rico tampak lebih kurus.
"Erico Wiratmadja?" panggil gue yang langsung membuat lelaki di depan gue ini tegang.
"Ya?" jawabnya.
"Gue ga hamil. Kenapa lu masih ngotot mau menikah sama gue?" Tanya gue tanpa basa basi.
Jujur, gue sendiri bingung. Seharusnya lelaki di hadapan gue ini ga perlu repot-repot untuk datang setiap hari dan meminta gue menikah dengan dia. Kejadian malam itu ga membuahkan hasil apa-apa. Gue ga hamil dan gue baik-baik aja. Kenapa dia seperti merasa bersalah?
Rico menatap gue. Tatapan sendu yang membuat gue miris melihat keadaannya sekarang ini.
"Maaf." Kata Rico.
Gue menaikkan satu alis gue. Bingung. Kenapa Rico malah ga menjawab pertanyaan gue?
"Denger. Jaga diri lu baik-baik. Perhatikan diri lu dan makan dengan benar. Lu terlihat berantakan dan kurus dibanding saat pertama kali kita ketemu. Bahkan lu kelihatan lelah. Istirahat yang cukup dan jangan meminta gue untuk menikah dengan lu lagi. Gue bukan cewek jahat yang haus harta. Gue miskin, tapi gue bisa menanggung hidup gue. Jadi, jangan sampai lu kehilangan akal sehat lu karena gue." jelas gue panjang lebar.
Gue tersenyum. Senyum setulus mungkin, karena gue sudah benar-benar melupakan kejadian itu dan menganggap itu salah satu warna di dalam buku gambar kehidupan gue. Gue harus terus bertahan demi Rangga. Itu lebih baik, daripada terpuruk dalam satu lubang tanpa berusaha untuk bangun lagi.
"Lu satu-satunya cewek yang menolak gue. Apa gue seburuk itu?" Tanya Rico.
"Ngga. Mungkin gue keterlaluan teriak di depan umum kalau lu orang brengsek. Tapi ga ada orang yang sempurna di dunia ini kan? Lu tampan, masih muda, cerdas, kaya, dan bertanggung jawab. Gue yakin, lu bisa nemuin kebahagiaan lu di luar sana. Jangan berhenti di satu titik ini aja." Jawab gue setenang mungkin.
"Gue ga bisa. Setidaknya gue harus melakukan sesuatu buat lu." desak Rico.
Gue mengangguk mengerti. Mungkin Rico seperti ini karena rasa bersalahnya sama gue. Rico orang yang baik, tapi sayang gue ga ketemu sama dia dengan cara yang benar. Mungkin kalau saja gue ga diperkosa, gue akan jatuh cinta pada Rico. Dia itu lelaki idaman semua wanita.
"Gue akan melakukan apapun! Gue ga bisa ninggalin lu dengan semua perasaan campur aduk." Tambah Rico.
"Kalau gitu, gue punya permintaan." Kata gue menatap mata Rico lurus.
"Apa?" Tanya Rico.
"Jalani hidup lu dengan baik. Jangan suruh adik lu datang lagi ke rumah sakit dan jangan meminta gue untuk menikah dengan lu lagi. Jadilah orang yang lebih sukses daripada sekarang, jadi orang hebat. Berhenti bayar biaya perawatan Rangga. Lu berhak dapat kehidupan lu seperti sebelum semua terjadi." Kata gue dalam satu tarikan nafas.
Rico menggeleng.
"Gue akan sangat berterima kasih kalau lu mau mendengarkan permintaan gue." tambah gue.
Rico menggeleng lagi.
Tiba-tiba, kepala gue terasa sakit. Sakit hebat. Gue butuh istirahat. Sebulan penuh gue bekerja gila-gilaan dan mungkin sekarang sudah limitnya. Gue harus segera mengakhiri pembicaraan gue dengan Rico sebelum gue tumbang.
"Tolong dengerin permintaan gue. Lu bilang lu akan melakukan apapun kan? Ini satu-satunya yang gue mau." Kata gue mengakhiri pembicaraan dan bangkit berdiri.
Rico menahan tangan gue yang beranjak pergi. Kepala gue semakin sakit dan gue ga kuat lagi. Gue ga bisa mendengar apa yang Rico bilang, tapi yang jelas pandangan gue sudah mulai kabur. Badan gue lemas dan semua tampak hitam.
***
"Lu udah sadar?" tanya seseorang di samping gue.
Kepala gue masih sakit. Gue mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan menatap keadaan di sekitar gue. Sudah pagi? Sejak kapan??? Kenapa gue ada di ranjang rumah sakit?
"Lu pingsan semalem. Ingat?" Tanya orang yang duduk di samping gue. Rico?
Ah... gue ingat sekarang. Semalam gue sudah ga tahan karena terlalu lelah sebulan ini. Rupanya gue memang sudah mencapai limit gue. Gue tersenyum pahit. Itu artinya, Rico ya yang membawa gue ke sini?
Gue melihat jam dinding. Sudah jam sepuluh. Gue tertawa pedih di dalam hati. Gue telat berangkat kerja, gue pasti dipecat. Mengingat ini kesalahan gue yang ketiga gue selama gue bekerja. Ya sudahlah, gue ga bisa berbuat apa-apa lagi.
Gue berusaha bangun dari tempat tidur, tapi Rico menahan gue.
"Tolong istirahat." Kata Rico memohon.
Wajahnya terlihat lelah sekali. Apa dia berjaga semalaman? Tapi sepertinya bukan karena berjaga. Dahinya terus menerus berkerut dan sepertinya Rico stress memikirkan sesuatu. Apa terjadi sesuatu?
"Gue udah sehat. Lu mau bicara sesuatu?" tanya gue.
"Maharani, gue mohon. Menikah dengan gue." kata Rico sambil mengenggam tangan gue erat.
"Rico, kita udah bicarain masalah ini semalem kan?" kata gue mengingatkan.
Rico menghela nafas berat dan menatap gue penuh dengan rasa bersalah. Rico mengusap wajahnya kasar dengan sebelah tangan dan sekali lagi menghela nafas berat.
"Maharani, gue mohon.." kata Rico.
"Lu kenapa sih?" Tanya gue heran.
"Maafin gue, tolong maafin gue..." kata Rico menunduk sambil mengenggam tangan gue semakin erat.
Gue hanya menatap Rico bingung. Rico kenapa sih?
"Maaf karena gue lu hamil. Maaf..."
APA?!
Ga!!! Ga mungkin gue hamil!!!
Ya Tuhan, apalagi ini!

KAMU SEDANG MEMBACA
I have to be STRONG!
RomantikApa yang menjadi impian seorang gadis cantik, kaya, dan cerdas saat usianya menginjak tujuh belas tahun? Kematian orang tuanya kah? Kebangkrutan keluarganya kah? Adiknya koma kah? Atau kehancuran dirinya?