Sweet or Bitter 17th (4)

19.4K 1K 9
                                    

Ya Tuhan, cobaan ini terlalu berat!

Mom meninggal, Dad dirawat di rumah sakit jiwa, sedangkan sekarang gue ga punya uang yang cukup untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan gue harus rela melepas cita-cita gue dan memilih bekerja dengan ijazah SMA.

Ya Tuhan, tolong!

Hp gue bunyi, gue langsung mengacak isi tas gue dan melihat layar hp gue.

Rangga.

"Halo?" jawab gue sambil berusaha sekuat tenaga menetralkan suara gue.

"Kak Rani, kapan pulang? Rangga khawatir..." kata Rangga.

"Sebentar lagi kakak sampai rumah. Rangga tidur dulu aja, besok kan Rangga sekolah." Kata gue mencoba selembut mungkin dan membuang semua isak tangis gue.

"Kakak cepat pulang ya!" kata Rangga.

Setelah gue mengiyakan, gue memutus sambungan telepon dan memasukkan hp gue ke tas. Gue mendongak ke langit, dan melihat gelapnya malam tanpa bintang.

Benar juga, masih ada Rangga yang harus gue perjuangin. Gue harus berusaha keras demi Rangga. Semua yang terjadi hari ini cukup gue aja yang tahu. Sesampainya di rumah nanti, gue harus semangat lagi untuk menjalani setiap kehidupan gue dengan lebih baik! Ya... Lebih baik!

***

"KAK RANIIIIII!" terian Rangga membangunkan gue.

"Rangga???" panggil gue sambil mengusap mata dan bangun dari tidur.

Rangga bersorak-sorak membangunkan gue dan memeluk gue. Gue yang masih setengah sadar hanya bisa membalas memeluk tanpa mendengar semua ocehan Rangga. Gue terlalu capek dengan kejadian kemarin, bahkan gue merasa gue baru tidur dua jam.

"Rangga, sudah sarapan?" tanya gue yang baru saja sadar sepenuhnya.

"Sudah! Rangga sudah mau berangkat sekolah." Kata Rangga.

Gue mengangguk, lalu menggandeng Rangga keluar dari kamar dan mengantarkannya kepada Mbok Ijah yang sudah menunggu di teras rumah.

"Mbok, Rani titip Rangga ya." Kata gue ke Mbok Ijah.

Mbok Ijah mengangguk dan pamit. Gue mengusap rambut Rangga dan mencium pipinya. Mbok Ijah dan Rangga sudah ga terlihat lagi, lalu gue pun masuk ke rumah. Masuk ke kamar dan duduk. Memikirkan semua hal yang membuat gue serasa dihantam palu.

Gue butuh tidur, tidur panjang! Tapi rasanya, gue ga bisa. Gue harus kerja dua jam lagi.

Gue segera mandi, membersihkan diri sebersih-bersihnya, sarapan, lalu duduk di ruang tamu sambil mengeluarkan isi tas gue.

Gue memeriksa hp gue yang ternyata tidak ada yang perlu diperiksa, menghitung sisa uang gue yang berserakan, dan mengeluarkan baju robek bekas kejadian semalam. Tapi ada satu benda yang ga gue kenal sama sekali.

Dompet hitam lelaki?

Punya siapa? Jelas bukan punya Rangga! Juga ga mungkin punya teman kerja gue. Jelas-jelas tas gue kan di loker wanita yang terpisah dengan loker para pekerja lelaki.

Gue membuka dompet itu dan melihat kartu identitas yang ada di dalamnya.

Erico Wiratmadja?

Ini sudah jelas bukan punya teman sekerja gue, ataupun punya bos di tempat kerja gue. Gue melihat foto di kartu identitasnya dan di selipan dompetnya. Hm... lelaki yang tampan. Bahkan baru berusia 22 tahun. Masih muda sekali. Keluarganya juga sepertinya harmonis. Orang tua lengkap, dia dan adik perempuannya yang cantik. Wow, orang ini juga kaya sekali. Kartu kredit unlimited berjejer rapi di dompetnya.

Erico Wiratmadja

CEO Wiratmadja Group

Kartu namanya ya?

Wah, selain tampan dan kaya, sepertinya dia cukup cerdas. Buktinya dia seorang CEO di usia yang sangat muda.

Hm, tapi kenapa dompet dia ada di tas gue? Bahkan kalau dilihat dari alamat kantornya, cukup jauh jaraknya dari rumah ataupun tempat kerja gue. Ga mungkin dong dia dicopet terus copetnya membuang dompetnya ke tas gue? Apalagi isinya masih utuh kok. Yang lebih aneh lagi, gue kan ga pernah melepas tas gue di sembarang tempat.

Kecuali...

BRENGSEK! Jadi ternyata orang ini yang memperkosa gue semalam?!

Rasanya gue menyesal bilang dia tampan dan cerdas! Dia orang brengsek yang seenaknya melecehkan wanita yang baru aja dia temui! Gue ga akan pernah mau kembaliin dompet ini ke dia. Gue ga mau ketemu orang itu lagi! Ga akan pernah!!!

Sudah jam sembilan, waktunya gue berangkat kerja. Dompet itu lebih baik gue simpan di lemari baju gue. Jangan sampai ada orang yang tahu. Biar aja kejadian itu tersimpan rapat!

Baru aja gue mengunci pintu rumah, hp gue udah berbunyi nyaring.

"Halo?" jawab gue tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Selamat pagi. Apakah ini dengan Ibu Maharani?"

"Iya. Saya sendiri. Ini siapa ya?" tanya gue bingung.

"Maaf, ini saya dari pihak rumah sakit. Saya mohon Ibu segera datang kemari karena adik Anda beserta pengasuhnya mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di ruang operasi."

Rangga!!!

Gue langsung segera bertanya alamat rumah sakit tersebut. Gue memanggil ojek dan pergi ke rumah sakit. Gue mengirimi sms ke teman kerja gue untuk meminta ijin ke bos, dan sesampainya di rumah sakit gue berlari seperti orang gila.

Setelah bertanya kepada salah seorang perawat, gue langsung berlari ke ruang operasi. Tepat saat gue datang, pintu ruang tersebut terbuka dan seorang dokter dengan pakaian hijau keluar.

"Bagaimana keadaan Rangga, Dok? Saya kakaknya." Kata gue secepat mungkin.

"Operasi berjalan dengan baik. Adik Anda baru saja melewati masa kritis. Tapi mengingat kecelakaan yang cukup hebat itu, saya takut adik Anda akan mengalami koma." Kata dokter itu turut prihatin.

Rasanya gue langsung dihantam batu beratus-ratus kilo. Bagaimana mungkin Rangga koma?

Rani, tenang! Lu harus kuat!!! Rangga pasti bangun. Lu jangan panik berlebihan.

"Lalu bagaimana dengan Mbok Ijah, pengasuh Rangga. Apa dia baik-baik saja?" tanya gue segera.

Dokter tersebut terlihat bingung, tapi kemudian seorang perawat mendekati kami.

"Maaf, kalau yang Anda maksud wanita paruh baya yang ikut dalam kecelakaan dengan adik Anda, ibu itu ada di ruang rawat sekarang. Dia tidak dioperasi. Mari saya antar." Kata perawat itu sambil mempersilahkan gue mengikuti dia.

Gue langsung mengikuti perawat itu sampai di depan suatu kamar rawat. Gue ga ragu untuk membuka kamar itu dan langsung masuk.

"Mbokkk!!!" panggil gue setengah berlari ke arah ranjang dan memeluk Mbok Ijah.

Kepala Mbok ijah dan pergelangan tangannya terlihat diperban. Beberapa luka memar ada di lengannya. Rasanya miris sekali mengingat usia Mbok Ijah yang sudah kepala empat. Kecelakaan yang begitu hebat!

"Neng Rani, Mbok minta maaf..." kata Mbok Ijah menunduk-nunduk minta maaf.

"Ngga. Bukan salah Mbok Ijah." Kata gue sambil duduk di samping ranjang dan menatap Mbok Ijah seakan berkata semua baik-baik aja.

Tapi semua ga baik-baik aja. Mbok Ijah tahu itu dan terus saja menangis. Gue sampai bingung harus bagaimana menenangkan Mbok Ijah.

Gue harus apa sekarang!

Rangga koma, Mbok Ijah juga terluka. Apalagi setelah ini!!!

Oh Tuhan... rasa-rasanya ini terlalu berat.

I have to be STRONG!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang