Enough! (2)

14.8K 836 5
                                    

Rico POV

Pagi ini gue udah bersiap dengan hati gue. Gue bahkan udah menyiapkan pidato panjang gue untuk menghadapi Rani. Gue yakin Rani pasti salah paham dengan kejadian kemarin. Setidaknya gue harus segera menyelesaikan semua ini sesegera mungkin.

Gue baru saja ketemu dengan Rani lagi setelah lima tahun panjang. Setelah gue nyaris menenggelamkan diri gue hanya untuk bekerja bekerja dan bekerja. Gue ga sanggup kalau Rani harus pergi lagi dari hidup gue! Gue bisa gila...

Jujur saja, cinta gue ga bisa pudar sedikit pun. Entah berapa banyak wanita yang Mama sodorkan kepada gue, tapi ga satupun dari mereka bisa menggantikan posisi Rani di hati gue. Bahkan sampai akhirnya gue muak dan hanya bisa menghindar dari setiap pertemuan yang Mama rencanakan.

Sudah jam Sembilan, dan gue yakin Rani pasti udah di ruangannya. Lagipula ini hari keduanya bekerja, mana mungkin dia datang telat dan membuat diri dia sendiri malu dilihat oleh karyawan lain. Apalagi dia seorang wakil direktur! Bukan hanya wakil direktur biasa, tapi WAKIL PRESIDEN DIREKTUR.

Gue yakin Rani itu orang yang sangat bertanggung jawab!

Gue segera melangkahkan kaki gue ke arah ruangan Rani yang tepat berada di samping ruangan gue. Di depannya, ada ruangan Rena, sahabat sekaligus merangkap sebagai sekretaris Rani.

"Rena... Rani sudah datang?" tanya gue ke sekretaris Rani yang sibuk mengetik di depan layar komputernya.

"Eh.. ah... Selamat pagi Pak Rico. Emm... Bu Rani hari ini ijin tidak masuk kantor. Ibu Rani bilang dia ada urusan mendadak." Jawab Rena takut-takut.

"Urusan mendadak?" tanya gue.

Bukan karena Rani menghindar dari gue?

"Iya Pak. Ibu Rani bilang toko yang dia kelola di Jogja sedang ada masalah, jadi dia segera terbang ke Jogja dengan penerbangan paling pagi. Ibu Rani juga bilang, dia akan usahakan untuk kembali ke kantor setelah makan siang."

Jogja? Toko? Apa yang Rani lakukan selama lima tahun ini? Bukankah dia kuliah? Lagipula, gajinya yang bekerja selama sepuluh bulan sebagai CEO di perusahaan gue di Bali bukankah memberikan Rani uang yang begitu banyak???

"Rani punya toko di Jogja?" tanya gue bingung.

"Iya Pak. Cuma toko roti kecil, tapi banyak pelanggannya. Dulu juga Ibu Rani pernah mau membuka cabangnya di Jakarta, eh tapi malah jadi melamar kerja di sini. Tapi tidak tahu juga jadi atau engga..." jelas Rena.

Gue mengangguk mengerti. Ah, sepertinya gue harus sabar menunggu sampai siang nanti. Padahal gue sudah memantapkan diri gue dari semalam. Gue menghela nafas kecewa.

"Kalau begitu, kamu kosongkan saja jadwalnya hari ini. Terus setelah dia kembali, suruh dia ke kantor saya. Bilang kalau itu perintah!" kata gue lalu pergi.

Setidaknya gue harus menyelesaikan semua masalah hari ini. Gue ga mau menunda untuk menjelaskan kejadian kemarin.

***

Gue sudah menyelesaikan dua meeting hari ini, tapi kenapa waktu seolah-olah berjalan sangat lama?! Sekarang bahkan baru jam satu, dan Rena bilang Rani akan kembali jam dua siang.

Masih satu jam lagi dan gue bingung harus menunggu Rani dengan cara seperti apa. Semua sudah gue lakukan. Meeting, membaca laporan, menandatangani apa yang perlu ditandatangani, makan siang. Menunggu seperti ini lebih menyiksa gue dibanding saat dulu gue menunggu Rani selama setahun di Bali!

Aaaarrghhh! Kesal rasanya...

Gue jadi ingat lima tahun lalu saat Rani pergi. Gue nyaris gila mengelilingi Jakarta seminggu penuh mencari Rani. Seakan dia ditelan bumi, dan gue benar-benar panik! Gue ga menyangka hari itu akan jadi hari perpisahan gue dan Rani.

Edward selalu menjadi sasaran kemarahan gue, apalagi karena perusahaan gue naik daun setelah apa yang diperbuat Rani di Bali. Meeting, kerja sama, pertemuan... semua menumpuk! Mau ga mau, gue kembali fokus ke pekerjaan karena Papa menegur gue habis-habisan karena membuat dua kerja sama besar batal dalam waktu seminggu.

Tapi hebatnya, gue ga menyentuh alkohol sama sekali selama masa 'kehilangan' gue. Gue lebih memilih bekerja daripada meminum minuman yang membuat gue bisa lepas kendali dan gue ga mau kejadian tak terduga lainnya terjadi. Cukup Rani, dan gue ga mau orang lain ikut-ikutan!

Tok tok tok

Mungkinkah itu Rani?

Pintu terbuka. Nyaris saja gue bangkit dari tempat duduk gue dan berlari ke arah wanita yang membuka pintu ruangan gue untuk memeluknya, tapi otak gue bekerja lebih dulu.

Jessica.

Lagi-lagi wanita ini.

"Hai sayang..." kata Jessica sambil berlenggak lenggok dan mengambil tempat duduk di depan gue.

Gue hanya bisa menghela nafas kecewa. Kemarin dia udah bikin gue harus menghentikan acara make-out gue dan Rani. Belum lagi mengaku sebagai tunangan gue! Sebenarnya mau dia apa??? Bukankah kemarin gue sudah bilang ke dia kalau dia ga perlu datang lagi ke perusahaan gue? Lagipula, dia datang pun hanya ingin mengajak gue ngobrol dan makan malam. Itu hal yang menurut gue sangat ga penting! Ini perusahaan, bukan tempat buat flirting!

"Jes, gue kan udah bilang lu ga usah dateng-dateng lagi ke sini!"

"Jangan galak-galak dong sayang..."

Ah... rasanya gue ingin sekali menendang wanita ini keluar. Kalau bukan karena dia anak relasi bisnis perusahaan gue, sudah gue pastikan dia diseret oleh security. Dulu gue mungkin bakal tertarik dengan wanita sejenis Jessica, yang memakai baju minim, menampilkan lekuk badan dengan sempurna, bahkan dengan caranya menggoda. Tapi sekarang, gue udah ga tertarik sama sekali.

Bagi gue, wanita di dunia ini hanya satu. Dan itu adalah Maharani Dewantara.

"Jadi mau lu apa?" tanya gue ketus.

"Isss... kamu itu. Papi nyuruh aku membawakan surat kontrak kerja sama kalian nihhh."

"Oh, jadi Om Gunawan sudah setuju dengan proyek kerja sama yang sebulan lalu gue presentasikan? Syukurlah. Kalau begitu, cepat berikan kontrak kerja samanya." Kata gue senang.

"Eittsss... ga segampang itu. Kalau kamu mau surat ini, harus cium aku dulu." Kata Jessica sambil menunjuk bibirnya.

Ha? What the hell!

"Jess, ini tuh ga ada hubungan sama lu. Ga usah konyol deh!" kata gue ga suka.

"Tentu saja ada. Papi bilang, gue boleh menentukan kok mau ngasih surat ini ke kamu atau dirobek aja." Tambah Jessica.

APA?

Om Gunawan benar-benar gila! Bagaimana mungkin dia melibatkan masalah pribadi anaknya ke dalam masalah kerja sama?! Apalagi itu menyangkut kerja sama besar yang nilai keuntungannya memiliki angka dua belas digit!

"Ric, aku udah bilang ke kamu kan kalau aku cinta mati sama kamu. Malah sejak pertama kali kita ketemu! Oh c'mon... dengan kamu menjadi milik aku, kerja sama apapun yang kamu tawarkan kepada Papi sudah pasti akan disetujui... ayolahhh!" kata Jessica yang udah bangkit berdiri dan melemparkan dirinya di pangkuan gue.

Damn!

Gila aja kalau gue bikin kontrak itu gagal. Papa pasti ngamuk besar! Tapi ga kalah gilanya kalau gue harus menjual diri gue demi kontrak itu!!!

Brakkkk

Pintu ruangan gue terbuka dan sosok wanita yang entah berapa jam ini gue tunggu ada di sana. Di ambang pintu dan menatap gue seakan-akan membunuh gue.

"Maaf Pak, Edward bilang kalau Anda sedang menunggu saya. Tapi sepertinya saya menganggu. Permisi..." kata Rani cepat lalu pergi.

Oh shit!

Dua kali gue membuat Rani salah paham dengan Jessica!

I have to be STRONG!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang