I am Tired... (1)

17.9K 1K 11
                                        

Seharian gue mencari kerja ke sana ke mari. Rasanya badan gue remuk! Susah sekali mencari kerja. Lebih dari dua puluh tempat gue kunjungi dang a satupun yang mau menerima gue yang hanya berijazah SMA. Capek, tapi gue ga boleh menyerah.

Hp gue berbunyi. Hm... teman kerja gue di kafe?

"Halo?"

"Rani, kata bos lu ga usah dateng lagi ke kafe."

Maksudnya?

"Kenapa?" tanya gue.

"Lu dipecat Ran. Maaf banget gue ga bisa bantu lu. Bos bilang kinerja lu selama ini baik, tapi lu kurang gesit. Hari ini bos pekerjain seseorang untuk menggantikan lu. Maaf banget ya Ran."

Gue menjauhkan hp dari telinga gue, dan langsung mematikan sambungan telepon. Gue menghela nafas berat dan menatap langit yang sedikit mendung.

Dua pekerjaan gue hilang dalam satu hari. Sekarang gue pengangguran. Lalu bagaimana gue harus membiayai kehidupan keluarga gue sehari-hari?

Biaya makan, listrik, air, biaya perawatan rumah sakit Rangga, transportasi.... Gue harus bayar semua pakai apa? Sisa uang tabungan gue ga cukup untuk seminggu ini.

Ga tahu kenapa, kaki gue terus melangkah sampai akhirnya gue tiba di jalan ke arah rumah kecil gue. Banyak orang berlari-lari dan berteriak-teriak. Membawa ember dan air. Ada apa?

"Mas.. ada apa ini?" tanya gue ke salah satu tetangga gue yang terburu-buru.

"Mbak! Rumah mbak kebakaran!!!" seru orang itu yang sukses membuat gue ikut berlari seperti orang-orang kebanyakan.

Rumah gue, rumah sebelah gue, dan sebelahnya lagi dilalap api besar. Gue langsung jatuh terduduk di pinggir jalan, melihat rumah gue yang tertutup kobaran si jago merah.

Ya Tuhan, kasihanilah hamba-Mu ini.

Rasanya gue ga tahan untuk terus kuat. Gue ingin sekali menangis dan berteriak ke semua orang kalau gue lelah! Gue lelah harus menanggung semua ini di usia gue yang baru tujuh belas tahun!

TUJUH BELAS TAHUN!

Hujan turun, mulanya hanya setetes demi setetes, tapi tak lama hujan langsung mengguyur dengan deras. Perlahan tapi pasti, api mulai padam. Tidak sampai lima belas menit, api sudah hilang dan sebagian warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

"Nak Rani, yang sabar ya." Kata ibu RT menghampiri gue dan memayungi gue.

Gue berdiri dan mengangguk. Gue berjalan lunglai ke arah rumah gue yang hanya tersisa puing-puing.

Pintu rumah gue sudah roboh, gue melihat perabotan rumah gue yang tinggal setengah utuh, dinding rumah gue yang berubah berwarna hitam, dan atap rumah gue yang sudah bolong-bolong. Gue membongkar semua barang yang masih tersisa. Mengambil koper yang belum terkena api dan memasukkan semua barang yang perlu.

Brankas gue masih utuh, gue segera mengeluarkan surat-surat tanah dan kepemilikan rumah, ijazah gue, buku tabungan, dan beberapa hal penting lainnya. Sepertinya hanya sedikit yang utuh. Gue menarik keluar koper gue dan berjalan ke Pak RT yang masih sibuk menginstruksikan segala sesuatu ke warga dan petugas keamanan sekitar.

"Pak, saya titip rumah saya selama saya pergi ya." Kata gue sopan.

"Iya Nak Rani. Tapi Nak Rani mau tinggal dimana sekarang?" Tanya Pak RT.

"Rani ga tau, Pak." Jawab gue jujur.

"Nak Rani tinggal sama bapak dan ibu aja gimana?" tanya ibu RT.

Kedua pasangan paruh baya ini memang sangat perhatian kepada gue dan keluarga kecil gue. Bahkan di hari pertama gue pindah ke sini, Pak RT menyambut kedatangan gue dengan hangat. Memperkenalkan gue ke warga sekitar. Ibu RT selama ini bahkan rajin memberi kue ataupun makanan ringan lainnya.

Kata Ibu RT, sejak anaknya pergi meninggalkan rumah, mereka merindukan kehadiran seorang anak, jadilah mereka perhatian sekali sama gue dan Rangga yang hanya tinggal berdua bersama Mbok Ijah.

"Jangan Bu. Ga enak menyusahkan." Tolak gue halus.

"Mana mungkin menyusahkan! Nak Rani saja sangat rajin, ga mungkin menyusahkan!" kata Ibu RT bersikeras.

Sebenarnya gue ingin sekali menerima tawaran Ibu RT, tapi mengingat gue yang hamil, gue ga mau mempermalukan kedua orang baik ini. Para warga bisa-bisa menuduh yang macam-macam, gue sendiri jadi takut akan timbul masalah yang lebih berat.

"Tidak apa Bu. Rani kan juga masih bisa tinggal di rumah sakit selama Rangga di sana. Sebisa mungkin Rani ga mau merepotkan. Terima kasih Ibu dan Bapak sudah berbaik hati sama keluarga Rani selama ini." Kata gue tulus sambil memeluk Ibu RT.

Ibu RT membalas pelukan gue dan membisikan banyak nasihat. Pak RT juga menyalami gue dan meminta gue untuk jangan sungkan jika perlu apa-apa.

Lelah rasanya.

I have to be STRONG!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang