New Life (1)

15.9K 896 12
                                        

"Rannn... Ranniiiii!!!"

"Renaaaa, gue udah bilang jangan teriak-teriak! Ini kan perpustakaan." Tegur gue.

"Iya-iya.. sorry deh. Tapi lu liat deh, nihhh..." kata Rena, sahabat baru gue, sambil memberikan gue sebuah majalah.

"Ini nihhhh! Lu liat dong. Pengusaha muda, tampan dan luar biasa ini. Erico Wiratmadja! Keren banget ya dia sampe dapet penghargaan dan diakui gitu sama pengusaha-pengusaha senior." Cerocos Rena sambil menunjuk-nunjuk foto cover majalah bisnis tersebut.

Gue hanya tersenyum menanggapinya.

"Ga nyangka banget ya kalau dia belum punya pacar. Padahal dia tuh pasti banyak banget yang ngincer." Tambah Rena.

Belum punya pacar?

"Nih, baca deh. Eh, ga usah. Gue aja yang bacain. Lu kan susah kalo disuruh baca yang beginian. Nih, gue bacain ya. Saat ditanya alasan kenapa Erico belum menikah sampai sekarang, Erico hanya tersenyum dan menjawab. 'Lima tahun yang lalu, seorang wanita yang saya ajak menikah berkali-kali terus menolak saya. Tapi semakin saya kejar, dia semakin jauh. Sampai akhirnya saya hanya bisa menunggu dia kembali'. Kasian banget ya???" Kata Rena heboh.

Aduhhh... pengawas perpustakaan udah berkali-kali memperingatkan gue dan Rena. Gue pun udah memelototi Rena, tapi Rena-nya aja yang ga peka atau ....ga peduli?

"Kira-kira siapa ya cewek itu? Bego banget nolak Erico gue tersayang. Coba kalo gue, pasti langsung gue terima dan ga akan gue lepasin!" kata Rena penuh emosi.

Gue hanya mengangguk saja.

Pengawas perpustakaan makin menajamkan matanya melihat ke arah gue dan Rena. Karena semakin ga enak, gue langsung menarik Rena keluar dari perpustakaan. Akhirnya kami duduk berdua di kantin meminum jus alpukat kesukaan kami.

Rena terus saja mengoceh tentang Erico, dan gue hanya bisa menanggapi dengan tersenyum atau mengangguk. Tapi Rena ga kesal atau apa. Dia malah terus mengoceh.

Gue tarik majalah tadi dari depan Rena, mencoba untuk membaca artikel yang Rena bangga-banggakan dari tadi.

Wah, benar. Rico terkenal ya sekarang? Tapi kok, dia malah terkenal sebagai pria paling dicari wanita? Astaga... Tapi kalau dilihat baik-baik, Rico ga banyak berubah. Matanya, hidungnya, bibirnya... masih Rico yang gue ingat.

Gue jadi kangen.

Sudah lima tahun berlalu sejak gue pergi meninggalkan rumah kediaman Wiratmadja. Malam itu juga, gue langsung menggunakan penerbangan paling akhir dan langsung pergi ke Jogja bersama Rangga dan Mbok Ijah.

Tadinya gue mau tinggal di Jakarta, di apartemen yang baru saja gue beli. Tapi setelah gue pikir-pikir, gue bakal susah kalau masih di Jakarta. Kemungkinan untuk bertemu Rico dan keluarganya lebih besar di sana. Jadilah gue tinggal di sini, di sebuah rumah kecil dan sangat menyenangkan.

Setiap setengah tahun sekali, gue sempatkan pergi ke Jakarta untuk menengok Dad. Keadaannya semakin membaik, tapi kemungkinan untuk sembuh masih sangat lama. Gue sedih, tapi gue hanya bisa berdoa.

Rangga? Dia selalu baik-baik saja. Rangga selalu mengerti keadaan. Sekarang dia sudah duduk di kelas dua SMP. Yang membuat gue bangga, Rangga selalu meraih peringkat pertama sejak datang ke Jogja. Tapi yang bikin gue pusing, banyak sekali telepon dari teman perempuan Rangga ke rumah.

Astagaaa... adik kecil gue...

Di umur gue yang delapan belas sampai sekarang, dua puluh tiga, hidup gue semakin membaik. Malah, semuanya sangat baik! Gue lulus kuliah bisnis S1 dan S2 dengan nilai yang terbaik, usaha toko kue kecil-kecilan gue juga berjalan dengan baik, hari-hari gue juga baik. Semua baik.

Mungkin hanya satu hal yang ga akan pernah baik.

Hati gue.

"Ran, lu setelah wisuda nanti mau kerja dimana?" Tanya Rena.

"Belum tau nih." Kata gue jujur.

Sebenarnya gue ga berniat untuk bekerja di perusahaan. Toh, gue masih punya toko roti yang cukup terkenal. Walau hanya toko roti kecil, sih. Tapi gue juga kadang berpikir, buat apa gue kuliah sampai tinggi sedangkan gue Cuma jadi pemilik toko roti?

Gue punya keinginan untuk bisa bekerja lagi di perusahaan.

"Mau ngelamar kerja di tempat yang sama kayak gue ga?" tanya Rena.

Di tempat yang sama?

Asyik juga sih. Rena kan udah jadi sahabat gue selama lima tahun ini, dan kita juga merasa dekat. Setelah kuliah selesai, kalau pisah kan rasanya sepi juga. Mungkin bisa gue pertimbangkan.

"Emang lu mau kerja dimana, Ren?" tanya gue serius.

"Di perusahaan Erico yang ada di Bali. Ikut yaaaa..?" bujuk Rena.

Gue kaget, tapi segera gue tutup kekagetan gue.

"Di sana bukannya susah ya?" Tanya gue.

"Kan nyoba, Ran. Lagian, kalau berdasarkan nilai, kita mah pasti masuk! Yang susah paling ya interview-nya. Tapi ayolah." Ajak Rena.

Bukannya gue ga mau. Gue sih mau aja, asalkan bukan perusahaan Erico. Apalagi yang ada di Bali. Big no!

"Tapi kalau gue kerja di sana, adik gue gimana? Terus, toko roti gue?" kata gue beralasan.

Rena langsung cemberut. Tapi seketika juga dia kembali ceria.

"Gimana kalau kita ngelamar yang ada di Jakarta? Kalo di Jakarta kan, Rangga bisa sekolah di tempat yang lebih bagus. Iya kan? Gimana? Sekalian, lu kan ga usah repot bolak-balik buat nengok ayah lu. Lu ga bisa nolak kali ini. Apalagi, toko roti lu baru buka cabang di Jakarta kan?" Kata Rena dengan senyum kemenangan.

Gue nyerah deh.

"Oke. Tapi gue bicarain dulu sama Rangga ya. Gue ga bisa seenaknya aja pindah mulu." Kata gue, tapi Rena ga peduli dan langsung memeluk gue.

Sejujurnya, Rena bener sih. Rangga butuh sekolah yang lebih bagus, walau di Jogja juga banyak yang bagus. Tapi, gue ga bisa tinggalin Rangga sendirian di Jogja. Apalagi gue harus mengurus toko roti yang baru gue buka di Jakarta. Ditambah, gue harus menengok Dad lebih rutin agar Dad lebih cepat sembuh.

Yah, walau kesempatan untuk bertemu Rico jadi lebih besar, tapi Jakarta itu kan luas. Rico juga pasti sibuk, lagipula ini sudah lewat dari lima tahun. Semua pasti akan baik-baik saja, gue yakin.

I have to be STRONG!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang