New Problem(s) (3)

14.5K 824 2
                                    

"Ran.... Raniiii!" panggil seseorang membangunkan gue dari tidur.

Oh Rena ternyata.

"Kok lu bisa-bisanya tidur di kantor sih?!" tegur Rena.

Gue mengantuk. Sekaligus terlalu pusing memikirkan masalah tadi. Eh, sekarang jam berapa ya?

"Pulang yuk. Sekarang udah jam lima. Yukkkk!" Ajak Rena lalu segera mengambilkan tas gue.

Gue menurut dan berjalan di belakang Rena. Gue masih setengah tersadar, tapi untung Rena mengerti. Jadi selama perjalanan ke tempat parker, Rena terus menggandeng tangan gue. Dengan sigapnya, Rena membukakan gue pintu. Gue berasa seperti tuan putri.

Rena menstarter mobil dan mulai mengeluarkan mobil dari parkiran, dan menuju jalan besar.

"Great! Kita kena macet, Ran!" Seru Rena sambil mengklakson mobilnya lagi.

"Ren, gimana kalau gue aja yang nyetir mobil lu? Kepala gue sakit dengerin klakson mobil lu. Lu kan tau sendiri, mobil itu bentuknya kotak. Lu harus sabar dong!" Tegur gue.

"Wah, kalo lu udah bisa negur gue kayak gitu, berarti lu udah sadar total tuh. Ya udah. Lu yang nyetir ya." Kata Rena lalu melepas seatbelt dan bertukar posisi dengan gue.

Sepuluh menit sekali, mobil hanya bisa berjalan sepuluh meter. Gue sangat sangat sangat sabar menunggu kemacetan yang berkepanjangan ini.

"Ran, lu kok ga pernah cerita ke gue kalo lu kenal Pak Erico?" tanya Rena.

Gue tahu suatu saat Rena pasti akan bertanya seperti ini. Mungkin ini juga waktu yang tepat untuk menceritakan kepada Rena segalanya, lagipula Rena akan terus bersama-sama gue untuk beberapa tahun ke depan.

"Keluarga gue dulu cukup terpandang. Sama kayak keluarga lu, Ren. Sayangnya sehari setelah ulang tahun gue yang ketujuh belas, hidup gue langsung dijungkir balik. Nyokap gue meninggal, bokap gue bangkrut dan kena gangguan jiwa, dan paling parahnya saat Rangga koma karena kecelakaan." Cerita gue.

Rena kaget. Tentu saja dia kaget. Hidup gue ini bagaikan sinetron, sama sekali mustahil terjadi.

"Belum berhenti sampai di sana. Sehari sebelum Rangga kecelakaan, gue yang tiap hari kerja keras dari pagi sampai malam, diperkosa sama lelaki yang gue ga kenal sama sekali. Gue hamil, dan ... keguguran." Kata gue sambil terus menatap depan.

Rena mulai terisak. Tapi gue ga berusaha untuk menghentikan tangis Rena, ataupun menghentikan cerita gue.

"Rangga ditabrak sama adiknya Rico. Sedangkan yang memperkosa gue itu Rico. Ironis kan? Gue sendiri merasa hidup gue penuh dengan kejutan yang ga terduga. Kenyataan bahwa adik gue ditabrak oleh adik dari orang yang memperkosa gue bener-bener luar biasa menyakitkan. Tapi gue harap, cukup lu aja yang tahu. Gue tau lu bisa dipercaya." Kata gue.

Tangis Rena pecah seketika itu juga.

"Seperti Rico yang lu kagumi, dia orang yang bertanggung jawab. Dia mau membiayai rumah sakit Rangga, walau gue tolak mati-matian. Dia juga melamar gue, tapi terus gue tolak. Saat gue tau gue keguguran, di saat yang sama gue udah kehilangan rumah gue karena kebakaran. Gue ga punya apa-apa lagi. Akhirnya gue menyerah dan menerima tawaran Rico yang bersedia memberikan gue apa saja. Jadilah gue minta untuk bekerja di perusahaan Rico di Bali. Itu alasannya kenapa gue ga mau melamar di sana." Jelas gue.

Jalanan semakin lancar, gue pun sudah merasa lega karena bisa langsung melajukan mobil ke apartemen gue. Saat gue sudah memarkirkan mobil dan mematikan mesin, Rena masih terus menangis.

"Semua udah lewat, Rena. Semua udah lima tahun berlalu." Kata gue lalu menarik Rena ke dalam pelukan gue.

"Ke-kenapa lu baru cerita?! Gu-gue... Gue ngerasa ga berguna jadi temen lu!" kata Rena sambil terisak-isak.

"Lu itu sahabat gue, Ren! Ada lu yang ganggu hidup gue aja udah bikin gue seneng. Lagian, sekarang lu udah tau kan?" kata gue sambil terus mengusap-usap punggung Rena.

Rena terus menangis, sampai.... entah berapa lama. Akhirnya setelah gue yakinkan, Rena pun berhenti menangis. Dengan mata merah, dia pun mengikuti gue keluar dari mobil dan menuju flat kami.

Karena ga tega Rena sendirian di flatnya, gue ajak ke flat gue. Saat gue baru saja masuk ke dalam, tiba-tiba hp gue berdering nyaring. Siapa?

Nomor yang tidak dikenal???

"Halo?" sapa gue.

"Rani! Lu dimana? Lu lupa malam ini lu mau ketemu sama orang tua gue?!"

Astaga! Gue bener-bener lupa!

"Lu udah pulang ya? Kalau gitu gue nyusul ke rumah lu aja."

"Ric, ga usah. Kita ketemu di rumah lu aja. Lu kirimin nomor telepon Tante Sofi, nanti biar gue yang bilang kalo gue telat. Oke, see you!" kata gue cepat lalu memutus sambungan telepon.

Gue segera berlari ke kamar mandi, tapi gue segera balik lagi mengambil handuk.

"Rangga! Lu siap-siap. Kita mau pergi ke rumah keluarga Wiratmadja! Ren, lu jaga flat gue sama Mbok Ijah ya. Atau lu jalan kek sama Edward. Sorry banget." Kata gue terburu-buru.

Sekilas gue bisa melihat muka semua orang yang tiba-tiba kaget, tapi biarlah. Gue udah telat!

Gue segera masuk ke kamar mandi, secepat kilat membersihkan diri. Setelah itu, gue langsung sibuk memilih baju. Untung saja Rena masuk ke kamar dan membantu gue. Make up juga udah selesai, pakaian udah, sepatu dan tas juga udah siap!

Setelah pamit sama Rena dan Mbok Ijah, gue segera menarik Rangga ke arah lift. Menelepon Tante Sofi yang pasti ga sabar menunggu. Sayangnya, saat pintu lift terbuka ke arah parkiran, telepon baru diangkat. Gue segera memberikannya ke Rangga.

Gue sendiri segera membuka pintu mobil, menstarter dan mengeluarkan mobil seperti orang gila. Telaaatttt!

I have to be STRONG!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang