"Shara, kamu kelas 9 nanti, kita pindah, ya?"
"Lagi?"
"Iya, Ayah pindah tugas."
"Ke mana?"
"Sumenep."
"Eh?"
***
Perjalanan Semarang-Sumenep lewat jalur darat benar-benar menguras tenaga. Jangankan Ayah yang menyetir seharian, Shara yang kerjanya cuma tidur di jok belakang bersama barang-barang pindahan saja merasa lelah plus bosan plus tertekan. Macet, bunyi klakson yang bersahutan, bau mobil yang tidak Shara suka memperburuk suasana.
Sumenep. Waktu Ayah bilang pindah tugas, Shara mengira Ayah akan menyebut kota-kota umum seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya, atau Medan. Ternyata yang disebut justru kota yang namanya saja asing di telinga. Posisinya bahkan tak tercantum dalam peta Indonesia.
"Itu... Jawa Barat?" terka Shara waktu itu.
"Jawa Timur," Ayah mengoreksi, "Pulau Madura."
Pulau katanya? Berarti daerahnya tidak semaju Pulau Jawa, dong. Bagaimana kalau di sana tidak ada listrik; susah sinyal; susah air bersih; mandi pakai air sumur? Aduh, membayangkannya saja, Shara tidak sanggup. Apalagi? Madura katanya? Suku yang terkenal karena cluritnya itu? Yang orang-orangnya berkumis lebat dan bermuka merah itu? Aduh, masa Shara harus tinggal di daerah seperti itu?
"Yah, kalau aku di Semarang aja gimana?"
"Kamu berani tinggal sendiri, Bunda ikut Ayah, lho."
Shara merengut. Terpaksa ia menurut. Selama tiga belas tahun ia hidup, ini akan jadi bagian terburuk. Mungkin.
"Sampai," kata Ayah setelah perjalanan menjelajahi Jawa Tengah dan Jawa Timur; melintasi jembatan Suramadu yang membentang di atas selat Madura; terjebak macet gara-gara pasar tumpah di Bangkalan; banjir di Sampang; Pamekasan yang relatif aman; dan terakhir, Sumenep: kabupaten kecil di ujung timur Pulau Garam.
Ayah memarkir mobil di garasi rumah yang sepertinya akan mereka tempati.
"Shara," suara Bunda membangunkan Shara. Shara segera turun. Ia tahu, sebentar lagi Bunda akan berkoar memintanya menurunkan barang bawaan.
Hal pertama yang Shara lakukan ketika memasuki rumah adalah: mencari sakelar lampu. Ketemu. Nyala. Setelah itu, Shara beringsut mencari kamar mandi. Ada sebuah kamar mandi di dekat dapur. Sedikit kotor, tidak masalah, Ayah bisa membersihkan. Kamar mandi itu dilengkapi bak berukuran kecil dan kloset jongkok. Tidak ada shower, hanya kran. Shara membuka kran. Air PDAM mengalir deras. Shara mendesah lega. Ayah dan Bunda geleng-gelang kepala mengamati tingkah putri semata wayang mereka. Belum tahu dia kalau ini masih Sumenep Kota. Pasti setelah ini Shara akan membuka telepon pintarnya, mengecek: apakah sinyal ada?
*
"Kamu masuk kelas IX-2, ya. Di sana jumlah siswa 11, siswi 23, tambah kamu jadi 24," ucap guru laki-laki berkulit putih.
"Iya, Pak," Shara mengangguk.
"Berani sendiri?" tanya beliau yang didiamkan Shara.
"Saya panggilkan teman kamu saja, deh."
Panggilan. Ketua kelas IX-2 dimohon menuju ruang BK sekarang. Sekali lagi. Ketua kelas IX-2 ke ruang BK sekarang.
Suara loudspeaker menggema di seluruh kawasan SMP Negeri 1 Sumenep, sekolah baru Shara. Tak lama kemudian seorang remaja jangkung memasuki ruangan.
"Ada apa, Pak?" tanyanya sambil cengar-cengir.
"Ada murid baru. Kamu antar dia ke kelas, ya?"
"Kelas berapa, Pak?"
"Kelas X!" hardik Pak Guru. "Ya, kelas kamu, lah! Kalau kelas lain, ngapain saya panggil kamu?"
"Iya juga, ya," katanya dengan wajah tanpa dosa.
"Makanya rambut jangan panjang-panjang! Kena razia, tahu rasa kamu! Sudah, sana balik kelas!"
"Permisi, Pak," si anak tadi mencium tangan Pak Guru sebelum keluar dari ruangan.
Shara mengekori remaja jangkung berambut berantakan yang katanya ketua kelas IX-2 itu.
"Aku Farhan, kamu?" laki-laki itu menoleh tanpa menghentikan langkah. Topinya digantung di samping celana. Sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku. Jalannya terkesan cepat-cepat tapi tidak sampai-sampai. Rompi biru khas SMP 1 terkancing rapi. Dasi berlambang Tut Wuri Handayani bergoyang-goyang mengikuti irama tubuhnya. Jangan lupakan cengiran nakal yang seakan tak bisa hilang dari wajahnya. Kesan pertama Shara untuknya: anak petakilan yang cuma beruntung jadi ketua kelas.
"Shara," jawab Shara. Singkat. Padat. Jelas.
Farhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Diam kembali mendominasi. Sementara itu, Shara merasa siswa-siswi lain mulai memerhatikan mereka, tidak, lebih tepatnya memerhatikannya. Shara mengecek ulang penampilannya. Apa seragam OSIS dan rok donker selututnya terlalu mencolok, ya?
"Masuk, Shar," pinta Farhan kala mereka sampai di depan kelas bertuliskan IX-2.
Suasana kelas bising, ramai oleh obrolan para murid. Suasana tambah heboh ketika salah satu anak menyapa, "Sapana ba'na rowa, Far?" dengan bahasa yang tidak Shara pahami.
Farhan menanggapi temannya dengan bahasa serupa, dari nadanya Shara menerka mereka menjadikan dirinya bahan candaan.
"Teman-teman," Farhan meminta perhatian, "Jadi... kelas kita kedatangan murid baru. Jadi..." kalimat Farhan bukan kalimat efektif, tapi cukup membuat semua anak diam penasaran. "Ya, gitu aja deh," lanjutnya sambil cengengesan.
Suasana kelas kembali ricuh. Shara belum tahu di mana dia akan duduk ketika beberapa anak mengerubunginya; menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar: dari mana, kenapa pindah, kok mau sekolah di sini. Shara menanggapi dengan jawaban alakadarnya. Untungnya, ada juga yang peka dan menyilakan Shara untuk memilih tempat duduk. Ending-nya, Shara duduk di sebelah anak gempal yang tadinya terancam sebangku dengan anak laki-laki menyebalkan gara-gara terdapat sebanyak ganjil laki-laki dan perempuan.
Shara menghela napas setelah meletakkan tasnya yang berisi alat tulis dan beberapa buku kosong.
"Capek, ya," sapa anak itu. "aku Berlian Utami," ia menjulurkan tangan.
"Shara," Shara menyambut uluran tangannya. "Shara Eka Agustin."
"Aku tebak kamu anak pertama," gurau Berlian.
"Eh, kok tahu?"
"Aku 'kan penebak terhebat sedunia," tubuh gempal Berlian berguncang karena tawa. Kesan pertama Shara untuknya: receh.
"Aku tahu habis ini kamu mau bilang apa?" katanya lagi.
"Apa?"
"Tuh, kan bener!" Berlian tertawa lagi. Shara mulai mengulum senyum.
"Tahu, nggak, kenapa aku diberi nama Berlian?"
"Karena kamu berkilau seperti berlian," terka Shara.
"Bukan. Karena katanya mukaku segi lima kayak berlian,"
Akhirnya Shara tertawa kecil. "Kamu receh, deh. Tapi, kok, tawamu menular, ya?" balas Shara.
"Eits, enak aja. Aku penebak terhebat sedunia, bukan virus terhebat sedunia."
Shara cekikikan lagi.
"Ulang tahunmu Agustus, 'kan?" kata Berlian lagi.
"Nggak, September," Shara berusaha meredam tawa. "September kurang sehari."
Lalu mereka berdua tertawa lepas.
"Jadi..."
"Jadi apa?" tanya Shara.
"Nggak, cuma mau bilang: Selamat Datang. Pasti susah beradaptasi, tapi semoga nanti kamu bisa merasa menjadi bagian dari kelas ini." Berlian tersenyum.
Coret kesan pertama, Shara punya kesan baru terhadap Berlian: teman yang pengertian dan menyenangkan.
"Ya, semoga."
*
![](https://img.wattpad.com/cover/218048262-288-k205113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...