Setelah selesai menghabiskan waktunya bersama Jeno, kini tinggal waktunya untuk Renjun berleyeh-leyeh. Jeno pun sudah kembali ke rumahnya.
Renjun merapikan barang belanjaan nya ke lemari sebelum lanjut rebahan. Dibelanjakan banyak barang adalah hal diluar kebiasaan Renjun. Renjun selalu enggan untuk menghamburkan uang orang lain, meskipun orang tersebut lah yang menawarkan diri untuk membayar barang yang akan Renjun beli. Renjun biasanya menolak untuk ditraktir, bahkan oleh sahabat-sahabatnya sekalipun. Namun kali ini, entah mendapat keberanian darimana sampai-sampai Renjun mau untuk dibelikan bermacam-macam barang seperti ini. Rasanya menyenangkan, dan Renjun tak merasa bersalah sedikitpun untuk itu.
Ditaksir oleh guru sendiri benar-benar bukan masalah besar sekarang. Jeno juga tidak banyak menuntut pada Renjun. Jeno hanya berpesan pada Renjun agar selalu membalas pesan-pesannya. Permintaan yang sangat mudah dituruti, bukan?
Sekarang pukul dua sore, dan Renjun ingin tidur sejenak. Berpergian bersama Jeno nyatanya cukup menguras tenaga. Namun, belum sempat Renjun memejamkan matanya, pintu kembali diketuk. Renjun menggerutu dalam hati, mengumpati orang yang mengganggu waktu istirahatnya.
Siapa lagi gerangan? Apakah Jeno lagi?
Oh, bukan.
Bukan Jeno, melainkan bapaknya. Renjun menyesal karena telah mengumpati bapaknya diam-diam tadi. Duh, maafkan Renjun ya, pak!
"Bapak!" Sapa Renjun senang.
Bapak memeluk Renjun erat, seraya mengecupi pucuk kepala anak semata wayangnya ini. Beberapa hari tidak bertemu, Jinki rasanya rindu sekali pada Renjun.
"Gimana keadaan anak bapak ini, hm? Sehat-sehat aja, to?" Tanya Jinki sembari masuk ke dalam rumah dengan Renjun dalam rangkulannya.
"Sehat, pak. Bapak sehat juga kan?"
"Bapak ya sehat. Cuma ini ayam ayam dikandang bikin keuangan bapak nggak sehat," ucap Jinki.
Jinki mendudukkan dirinya disofa.
"Bentar pak. Renjun bikinin teh dulu ya? Nanti disambung lagi ceritanya sambil ngeteh"
Renjun segera melenggangkan kakinya menuju dapur, membuat segelas teh hangat serta membawakan beberapa camilan untuk sang bapak yang pastinya sedang dalam keadaan lelah.
Selang beberapa menit, Renjun kembali mendudukkan dirinya disamping bapak setelah sebelumnya menyajikan teh dan cemilan dimeja.
"Bapak minum dulu teh nya"
Jinki mengangguk, kemudian segera menyeruput teh hangat buatan anak tercintanya ini.
"Renjun pijitin ya, pak?"
Tanpa menunggu persetujuan, Renjun langsung memijat pundak Jinki. Pijatan Renjun ini enak, tidak terlalu keras juga tidak terlalu pelan. Pas sekali untuk meregangkan otot-otot yang kaku.
"Ayam dikandang banyak yang mati gara-gara flu burung. Bapak rugi besar, nduk," kata Jinki seraya menikmati pijatan pijatan tangan mungil Renjun.
Renjun terkejut sejenak.
"Bapak yang sabar ya, pak. Renjun yakin peternakan bapak bisa balik normal lagi. Renjun nggak bisa bantu banyak, cuma bisa bantu doa aja"
Jinki menatap Renjun dengan tatapan bangganya. Rasanya beruntung sekali punya anak yang pengertian seperti ini. Jinki menarik Renjun kedalam pelukannya.
"Makasih ya, nduk, udah mau ngertiin keadaan bapak dan nggak banyak nuntut. Sampai keuangan bapak membaik, kamu nggak papa kan buat hidup lebih hemat lagi?"
Renjun memeluk bapaknya tak kalah erat. Hidup hanya berdua di kota orang, membuat keduanya harus saling menopang satu sama lain.
"Bapak nggak usah khawatir soal itu. Renjun kan juga masih ada tabungan. Masalah hidup hemat kan kita juga udah biasa. Bapak nggak usah banyak pikiran. Renjun nggak mau bapak sampai sakit"
Hampir saja Jinki menangis mendengar penuturan Renjun. Didikannya selama ini membuahkan hasil. Satu-satunya bunga dalam hidupnya kini mekar dengan apik.
"Yaaaa doain semoga bapak ini sehat-sehat terus... Bisa biayain kamu sekolah sampai sarjana," tukasnya.
Renjun melepas pelukannya pada bapak. Dengan hembusan nafas kecil, Renjun berkata, "bapak, Renjun nggak usah kuliah ya? Lulus SMA nanti, Renjun mau nyari kerja aja biar bisa bantuin bapak"
"Nggak kuliah nanti mau kerja apa? Nyari kerja jaman sekarang itu nggak gampang, nduk. Minimal ya kamu harus punya gelar sarjana. Bapak nggak mau kamu sampai kerja kasar kayak bapak. Kalau bisa kamu harus kerja di kantor yang gajinya lumayan dan tempatnya enak"
"Ih, bapak~ bapak kan tau sendiri kalau Renjun ini nggak pinter. Tiap naik kelas aja nilainya pas-pasan, gimana kuliah nanti? Renjun bisa-bisa botak gara-gara kebanyakan mikir. Sekarang kan juga banyak pengangguran berijazah, pak. Lagian ya, pak, Renjun kan bisa daftar kerja di indojuni. Gajinya lumayan, tempat kerjanya juga enak kan? Cita-cita Renjun itu pengin jadi duta kasir indojuni. Ya, pak?" Bujuk Renjun.
Bapak geleng-geleng. Renjun memang tidak seberapa pintar, tapi Renjun punya kelebihan lain yaitu mengelola sebuah organisasi. Pikir Jinki, jika Renjun memang tidak seberapa pintar, dengan kemampuan nya dalam memimpin setidaknya Renjun punya peluang untuk jadi pekerja kantoran. Iya 'kan?
"Cita-cita kok jadi duta kasir, Njun... Njun... Mbok ya yang lebih keren sedikit gitu, lho. Keuangan bapak kan juga pastinya bakal membaik, nak"
"Duta kasir keren tau, pak. Kerjanya juga kadang pakai jas gitu. Membaik atau nggaknya, Renjun tetep mau kerja setelah SMA. Ya, pak? Please please please" Renjun menampilkan wajah lucunya pada Jinki, berharap si bapak mau luluh dan menuruti keinginannya.
Kuliah atau tidak, sebenarnya bukan masalah untuk Jinki. Yang paling penting baginya adalah Renjun merasa bahagia dalam menjalankan pekerjaannya kelak. Jinki tidak mau memaksa. Segala sesuatu yang dipaksakan pasti hasilnya akan kacau.
"Sa' karepmu! Paling Wee mengko sawise lulus SMA koe wes dak lamar Nang Jeno" (terserah kamu! Paling juga nanti setelah lulus SMA kamu udah dilamar sama Jeno) ujar Jinki santai.
"Ih, bapak~ Renjun nggak mau nikah muda. Pak Jeno juga nggak mungkin sampai nikahin Renjun," balas Renjun bersungut-sungut.
"Kok kamu mikirnya gitu? Jeno itu beneran serius sama kamu. Setiap ngajak jalan kamu juga dia ijinnya ke bapak duluan bukan ke kamu kan? Coba kalau yang lain, ada nggak yang sama sopan nya kayak Jeno?"
"Ya... Ya nggak ada sih. Tapi..."
"Tapi apa? Renjun keberatan PDKT sama guru sendiri?"
Renjun diam. Apakah Renjun harus jujur?
"Jujur ayok. Bapak nggak akan marah kalau Renjun mau stop sama Jeno"
Stop? Stop berhubungan dengan Jeno? Jika Renjun memutuskan stop, itu artinya tidak ada lagi orang yang akan membelanjakan segala keinginan Renjun, dong? Ditambah sekarang kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik. Bukan hal yang benar jika harus melepas Jeno disaat-saat seperti ini, pikirnya.
"Kalau dibilang nggak nyaman ya iya nggak nyaman. Tapi, itu wajar kan pak? Renjun kan baru kenal pak Jeno dua Minggu, pak Jeno juga orang baik dan ganteng juga. Renjun mau coba buka hati hehe" kelakar nya.
Membuka hati untuk Jeno? Renjun sedang membual sekarang. Renjun sudah berani membohongi bapaknya sendiri. Kelak, kebohongan yang Renjun buat ini akan menelannya bulat-bulat. Masalah besar mungkin sedang menanti Renjun?
"Bagus lah kalau gitu. Bapak seneng dengernya. Kamu udah mandi belum? Kalau belum, cepetan mandi. Bapak mau ke kamar dulu istirahat," ucapnya seraya meninggalkan Renjun sendirian disana.
Dalam hati, Renjun mengucapkan ribuan kalimat permohonan maaf pada bapaknya itu. Renjun tahu berbohong adalah hal yang paling bapaknya benci. Dan sekarang, Renjun telah melakukan dosa besar yang paling bapaknya jauhi itu.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
1 of 1 ✧ NoRen !¡
FanfictionRenjun adalah satu-satunya dan segalanya bagi Jeno. ©glowinjun - 2020