1359
Aku terdiam, menyadari bahwa ternyata kehidupan antara Dyah Ayu dan Dyah Gauri Kusuma benar-benar berbeda. Yang paling aneh adalah Damar menjadi keponakanku di sini. Benar-benar tak disangka, huh. Aku tak kaget jika seluruh anggota keluarga Gauri di kehidupan berikutnya bereinkarnasi sebagai keluargaku. Tapi, Adirangga bereinkarnasi menjadi Elang? Itu adalah sebuah lelucon yang mampu membuatku terdiam dan tertawa dalam hati seperti orang gila. Ah, aku benar-benar membutuhkan magic mushrooms. Mengonsumsinya atau tidak, sama saja sekarang. Kurasa kewarasanku akan menghilang jika berada di atap yang sama dengan Kangmas Adirangga dan istrinya.
"Bibi sejak dulu memang lemah badannya, jarang ikut membantu Eyang Putri di dapur, lebih suka melamun di depan jendela kamar atau membantu para rewang. Sebenarnya Bibi memikirkan apa?" tanya Damar, membuyarkan segala lamunanku. Ah tidak-tidak, aku telah terbiasa memanggilnya Damar dan lupa bahwa di masa ini namanya adalah Arangga.
"Benarkah aku suka melamun, Arangga?" tanyaku terperangah.
"Iya. Sendirian pula, maka dari itu aku sering membawakan jambu untuk Bibi. Bibir Bibi kini tak sepucat dulu, wajah Bibi juga lebih berwarna. Hmmm ... karena tampaknya kini Bibi sudah jauh lebih sehat dan kuat dibanding dulu, maukah Bibi berjalan-jalan denganku?" tawar Arangga. Ia bangkit, lalu menjulurkan tangannya. Karena tawarannya tidak buruk, aku menggenggam tangannya dan mengikuti langkah kakinya. Kami keluar dari pekarangan rumah dan berpapasan dengan beberapa tetangga dan kawula alit yang menyapa. Karena tak mengenal satu pun dari mereka, aku hanya tersenyum dan sesekali mengangguk ramah. Arangga tampak mengenal mereka semua. Yah tak heran, Damar pun sangat supel dan memiliki kenalan di mana-mana. Lagi-lagi itu membuatku keheranan. Kenapa juga ia masih berteman denganku? Apakah mungkin jiwa kami semacam memiliki kontrak sehingga di masa depan ia tetap bergaul denganku? Hah, lucu sekali.
"Kamu mau mengajak Bibi ke mana, Arangga?" tanyaku karena tak tahu ke mana kaki ini melangkah, hanya mengikuti Arangga yang memimpin di depan. Aku kembali menatap suasana sekeliling yang jauh berbeda dengan Indonesia. Dadaku tak lagi sesak karena asap kendaraan bermotor, aku pun tak perlu repot-repot menutup hidung untuk menghindari asap rokok. Mungkin, terlempar ke masa ini adalah sebuah berkah karena tubuhku akan semakin sehat tanpa adanya polusi.
"Kita akan melihat Keraton Kahuripan, lalu pergi ke Pendopo Kabupaten, tempat Eyang Kakung dan Ayahanda bekerja," jawab Arangga sembari memetik sebuah mangga matang yang menggantung di dekat tempat kami berjalan. Ia membelahnya menjadi dua, lalu memberikan separuhnya padaku. Warna oranye dari daging mangga ini membuatku hampir meneteskan liur. Aku dangat suka mangga dan tak butuh waktu lama bagiku untuk melahap sekaligus menghabiskannya. Jika setiap hari lidah ini dimanjakan dengan berbagai buah-buahan, bisa makmur perutku hehehe.
"Apa kamu biasanya memberiku buah-buahan, Arangga?"
"Iya, Bibi suka buah-buahan. Setiap hari aku, eyang kakung, atau ayahanda akan membawakan Bibi buah," ujarnya, sembari memetik sebuah mangga dari pohon yang berbeda. Ia menawariku, tetapi aku menolak. Aku memilih menyimpannya agar bisa dinikmati saat kembali ke kediaman nanti. Jika saja mangga ini belum matang, aku bisa membuat rujak buah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Historical Fiction[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...