50 | Jauh dari Permukaan

9.4K 1.4K 52
                                    

1408

Ternyata setelah itu, aku terbangun dan semuanya bukan mimpi. Dada ini sesak mengetahui bahwa Dhipta benar-benar sudah tiada dan aku melihat penggalan kepalanya dengan mataku sendiri. Aku murka, tetapi tak tahu bagaimana cara menyalurkannya. Pada akhirnya, kuputuskan untuk keluar dari keraton dan hidup sebagai orang biasa di pinggiran Trowulan. Aku tak sanggup jika berada di tempat yang sama dengan Wikramawardhana. Lagi pula, ada banyak luka yang tidak akan pernah bisa mengering jika aku tetap berada di keraton. Lembayung masih setia mengikutiku ke mana pun kaki ini melangkah. Aku merasa bersalah karena tak dapat memberi yang terbaik untuknya.

Paramarthawardhani melarangku untuk hidup di pinggiran keraton, ia bahkan berniat memboyongku ke Keraton Daha. Tapi, aku menolak. Aku ingin benar-benar lepas dari kehidupan kerajaan. Mungkin, menjadi rakyat biasa bisa sedikit demi sedikit menutup luka hati ini. Aku pergi dari keraton tanpa sepengetahuannya karena benar-benar ingin hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku menanam bahan pangan di pekarangan lalu menitipkannya kepada pedagang di pasar. Selama dua tahun, aku dan Lembayung bisa beradaptasi. Kasihan sekali dua perempuan tua ini.

Kabar kematian putraku tersebar hingga seluruh penjuru negeri selama dua tahun pertama. Aku kerap mendengar penduduk Trowulan membicarakannya ketika pergi ke pasar. Mereka berkata bahwa awalnya Dhipta yang menyerang Keraton Trowulan dan mengalahkan Wikramawardhana, tetapi mengapa aku sama sekali tak mendengar kekacauan itu? Apakah saat itu terjadi, aku tengah pergi mengunjungi Arangga atau Mahaguru? Lalu putra Wikramawardhana, Bhre Tumapel yang tak lain adalah Wijayawardhana atau Bhre Tumapel, membantu ayahandanya menyerang Keraton Timur bersama dengan Bhra Parameswara dan Bhra Narapati. Malam buta Paramarthawardhani diculik oleh Wikramawardhana menuju Keraton Trowulan, sedangkan Naradhiptawardhana yang merasa dipermalukan oleh Wikramawardhana dengan serangan kejutan itu memilih kabur menaiki perahu saat matahari belum menampakkan diri dan dikejar oleh Bhra Narapati. Saat mencoba melawan, putraku dipenggal di perahu itu dan tubuhnya dibawa ke Keraton Trowulan di hari yang sama ketika aku pingsan. Aku bahkan tak tahu bahwa cucuku sampai harus diculik Wikramawardhana dan putraku meninggal ketika aku berusaha mencari cara untuk menemuinya. Saat aku tertidur di malam buta, putraku tewas mengenaskan. Bagaimana bisa sebagai penghuni keraton aku tak mengetahui apa-apa?

Sebenarnya, aku berharap bisa mati sesegera mungkin. Namun, hingga kini aku masih belum bisa menemukan arti merelakan yang dimaksud oleh Ki Walang dan Nayanika. Maka, kini aku hanya bisa menunggu Nayanika atau siapa pun memberi sedikit penjelasan. Sudah jelas aku tak bisa mengandalkan Ki Walang karena beliau telah meninggal dunia, meninggalkan penerusnya yang sudah pasti tidak dimintai tolong juga.

"Lembayung, kemarilah. Jangan hanya berdiri, duduklah bersamaku. Aku bukan lagi seorang bangsawan setelah berjalan keluar dari keraton." Aku menepuk-nepuk bagian dipan yang kosong di sebelah. Awalnya Lembayung tampak ragu-ragu, namun setelah kuyakinkan, ia akhirnya duduk di sampingku. Dalam diam, kami menikmati semilir angin di bawah pohon jambu. Ah, ini mengingatkanku kepada Arangga saat pertama kali aku terlempar ke masa ini. Sudah berapa lama waktu berlalu? Kurasa hampir mendekati lima puluh tahun. Umurku saja sudah mendekati tujuh puluh tahun. Kulitku hampir semuanya telah mengeriput dan rambutku sudah putih. Terlalu banyak bersedih membuatku terlihat sepuluh tahun lebih tua.

"Gusti ...." Lembayung membuyarkan lamunanku.

Aku menyahut, "Ya?"

"Jika seandainya Hamba pergi terlebih dahulu, maka dengan siapa Gusti hidup?" tanya Lembayung dengan mimik muka serius. Matanya berkaca-kaca.

"Itu bukan hal yang harus kau khawatirkan, Lembayung. Di saat seperti ini, harusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Aku bisa hidup sendiri, lalu membusuk dan melapuk hingga waktu kematian tiba. Jangan pikirkan aku." Aku meraih tangannya, lalu menggenggamnya erat. "Kau adalah satu-satunya keluarga, selain Paramartha yang kupunya. Terima kasih telah berada di sisiku selama ini. Aku merasa bersalah kepadamu karena harus melayani seseorang sepertiku."

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang