35 | Prasangka

9.8K 1.7K 51
                                    

"Masalah terbesar dari prasangka adalah kita merasa ada kebenaran di dalamnya meskipun tidak seratus persen."
ーAudrey Yu Jia Hui | Mencari Sila Kelima



***



1364

Aku menatap Dhipta dengan senyuman masam. Anak lelakiku yang menggemaskan itu masih sibuk bermain dengan cacing yang ia temukan di tanah. "Ananda tampan yang satu ini memang sesuatu. Ayo Dhipta sayang, letakkan cacing itu, ya."

Untungnya, tanpa banyak bicara Dhipta langsung melemparkan cacing itu tak tentu arah. Kaki kecilnya berlarian menuju Kusumawardhani yang tengah sibuk mengamati Kangmas Hayam Wuruk. Ah, seharusnya Dhipta membersihkan tangannya terlebih dahulu. Tapi, sudahlah. Biar dia melakukan apa yang ia mau.

Perhatianku dan Yunda Sudewi tertuju kepada Kangmas Hayam Wuruk yang tampak gagah sekaligus hangat di antara kedua putra-putrinya. Dari matanya, aku bisa melihat kebahagiaan dan ketulusan. Bibirnya senantiasa menyunggingkan senyuman. Mungkin dulu, ketika masih belum begitu mengenal Kangmas Hayam Wuruk, aku akan mengejek lelaki itu. Bagaimana bisa dia bertahan dengan senyuman itu? Apa otot wajahnya tidak terasa kram? Sebab, kini aku mengetahui bahwa semua itu adalah bagian dari kemurnian hatinya.

"Gula Jawa dan Ksatria Cilik, lihatlah Ayahanda!" ujar Kangmas Hayam Wuruk sembari memperagakan sebuah gerakan silat. Kedua kakak adik itu menatap Kangmas Hayam Wuruk penuh kekaguman, bibirnya membulat sempurna dan matanya dipenuhi binar-binar bahagia.

"Wuah!" Kusumawardhani bertepuk tangan, mengundang adik kecilnya untuk melakukan hal yang sama. Kemudian keduanya saling berebut dan bersahutan, mengapresiasi gerakan silat ayahanda mereka.

"Hebat, Ayahanda hebat!" Eluan itu terdengar begitu menentramkan hati. Kulihat Hayam Wuruk tersenyum bangga, ada rona malu di kedua pipinya. Kangmas Hayam Wuruk berjongkok di depan mereka berdua, menyejajarkan badannya dengan tubuh mungil Kusumawardhani serta Dhipta.

"Apa kalian tahu gerakan apa yang Ayahanda lakukan tadi?"

Keduanya serempak menggeleng. Bibir Dhipta bergerak, menjawab pertanyaan Kangmas Hayam Wuruk. "Dhipta tidak tahu, tetapi itu sangat mengagumkan! Dhipta ingin memperlajarinya."

"Aku juga mau!" seru Kusumawardhani dengan semangat membara yang tak kalah dari adik lelakinya. Kangmas Hayam Wuruk tertawa pelan, lalu mengacak-acak rambut mereka.

"Gerakan tadi adalah gerakan khusus pasukan dari Kerajaan Singosari, pasukan para leluhur kita. Ayahanda akan mengajarinya kepada kalian. Dhipta, pergunakan ilmu ini untuk melindungi Yunda Kusumawardhani, ya. Kusumawardhani, pergunakan ilmu ini untuk melindungi dirimu sendiri saat Dhipta tak ada di sisimu kelak. Kalian berdua adalah putra-putri yang begitu berharga dan membanggakan bagi Ayahanda, Ibunda Sudewi, serta Ibunda Gauri. Maukah kalian berjanji kepada Ayahdanda?"

Dhipta dan Kusumawardhani mengangguk serempak.

"Dhipta berjanji untuk melindungi Yunda Kusumawardhani sehidup semati!" ucap Dhipta menggebu-gebu sembari mengepalkan tangannya yang penuh dengan tanah. Hidungnya mengembang-kempis, begitu menggemaskan di mataku. Dasar, dari mana bocah kecilku mengetahui istilah sehidup semati? Aku harus menanyainya nanti.

Kusumawardhani menatap Dhipta penuh kasih, lalu menarik adik kecilnya ke dalam pelukan. "Yunda menyayangi Adimas."

Aku dan Sudewi saling melempar tatapan bahagia. Kedua matanya bahkan menyipit sempurna, tertawa akan tingkah Dhipta dan Kusumawardhani. Kami sama-sama terharu melihat keduanya saling menyayangi dan mengasihi. Mungkin ketakutanku mengenai dunia kerajaan yang kejam salah, melihat mereka berdua membuatku tersadar bahwa tak selalu harus ada pertumpahan darah antar sesama keluarga kerajaan. Kangmas Hayam Wuruk mulai mengajari putra-putrinya gerakan silat khas prajurit Singosari. Meski masih begitu belia, Kusumawardhani dan Dhipta tak main-main. Mereka begitu serius mengamati dan melakukan arahan sang maharaja.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang