1359
Sudah berbulan-bulan lamanya semenjak perjalanan ke Tumapel, aku selalu melakukan perawatan-perawatan dari bengkoang yang dianjurkan oleh Yunda Rindi beserta kedua adik kembarku. Ayahanda dan ibunda sudah tahu perihal keinginan Maharaja Hayam Wuruk untuk mempersuntingku. Katanya, mereka tahu semenjak Paman Enggon menjemputku ketika mendatangi sebuah pantai di Malang Selatan, Pantai Parangdhawa. Aku tak tahu bagaimana reaksi mereka yang sesungguhnya akan kabar ini. Meski tak setuju, aku yakin mereka tak punya kuasa untuk menolak karena aku bukanlah seorang putri dari sebuah kerajaan, hanya putri dari seorang temenggung di Kahuripan. Hari-hari telah terlewati, rombongan dari Trowulan datang. Tak pernah kusangka bahwa menikah akan sangat merepotkan seperti ini. Sebelum menikah, kami diharuskan meminta berkat dari para agamawan dan pendeta buddhis, sebab aku dan sang maharaja memiliki kepercayaan yang berbeda. Selama itu pula, Maharaja Hayam Wuruk tidak bertingkah aneh-aneh. Jika tahu seribet dan semelelahkan ini, mungkin aku akan berpikir kembali sebelum memutuskan untuk menikah.
Mentari telah digantikan kedudukannya oleh rembulan yang bersembunyi di balik Sang Mega. Suara tabuhan gendang dan gong tembaga meredam para jangkrik yang bersahut-sahutan. Para manusia berseliweran, memadati halaman rumahku yang cukup besar. Ada beberapa kerabat yang tak kukenal, serta penduduk setempat yang turut meramaikan acara malam hari ini. Mereka duduk di tanah dengan nyaman. Aku duduk dengan canggung di atas sebuah bantal empuk. Ada Maharaja Hayam Wuruk di sisiku yang senantiasa menunjukkan senyum terbaiknya dari atas tempat yang bisa disebut panggung ini. Ia tampak menawan malam ini, pakaian yang ia kenakan sangat mewah. Di lehernya tergantung kalung-kalung emas yang memantulkan cahaya bulan dan obor-obor penerangan.
Aku sendiri tampil agak berbeda malam ini. Rambut panjang ini dibiarkan tergerai hingga sepanjang punggung bawah. Aku mengenakan kain batik yang sama dengan sang mempelai pria, berwarna emas yang membuatku tampak sangat elegan. Ada sebuah kain hijau bermotif bunga yang diikat di pinggangku. Kain itu buatan ibunda yang memang dipersiapkan oleh beliau untuk pernikahan anak-anak gadisnya. Kepalaku tak dibiarkan begitu saja, ada manik-manik dari emas yang menghiasi. Tanganku dipenuhi oleh gelang-gelang emas dan perunggu. Sedang kaki telanjangku dihias oleh cincin kaki yang kudengar disebut nupura. Pipiku menunjukkan semburat merah karena pujian yang tadi tak henti-hentinya dilontarkan oleh Arangga. Kini ia tengah duduk berdekatan dengan Ranadwi. Kurasa tak lama lagi mereka berdua akan segera menyusulku.
Aku sama sekali tidak bisa memasang senyum malam ini. Maharaja Hayam Wuruk yang mengetahui kegelisahan ini, meraih tanganku dan menggenggamnya sembari berbisik kecil. "Jangan gugup."
Cepat-cepat menarik tanganku kembali, jantung ini berdegup tak karuan. Bukannya menenangkan, tindakannya justru membuat hatiku semakin terporakporanda. Sebenarnya, ada apa denganku malam ini? Baiklah, mungkin hanya gugup karena akhirnya aku akan menjadi milik Maharaja Hayam Wuruk. Menjadi selirnya, menjadi wanita kedua dalam hidupnya. Apa aku boleh melarikan diri sekarang? Kurutuki semua kebodohan karena mengiakan pinangan maharaja ini begitu cepat. Harusnya aku lebih gigih menolak, menunggu setidaknya lima tahun lagi. Tapi, aku malah terbuai dengan perlakuan dan perkataan manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Ficción histórica[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...