4 | Luka Berbalur Garam

22.1K 3.3K 67
                                    

1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1359

Dulu, aku ingin mengikuti sebuah lomba membuat poster digital. Namun, aku menyerah karena sadar aku tak bisa mengalahkan waktu. Pasalnya, saat itu aku tidak memiliki dasar apa pun mengenai dunia digital seperti photoshop ataupun corel draw. Kebetulan sekali guru seni yang memperkenalkan perlombaan itu padaku mengatakan, "Lho, masa kamu menyerah sebelum berjuang di medan tempur?" Rupanya kata-kata beliau kini berlaku kembali. Aku menyerah sebelum berjuang dan mendapatkan hati Elang versi dewasa, maksudku, Adirangga. Nyatanya, aku tak bisa memilikinya di kedua masa yang berbeda, ia telah dimiliki orang lain. Sialnya, itu perempuan yang sama dengan di masa depan. Mereka bahkan sudah memiliki buah cinta berupa Arangga.

Pagi ini aku tengah berjemur di halaman rumah sembari menatap beberapa penduduk yang berlalu-lalang. Mereka menunduk hormat ketika menyadari keberadaanku, terlebih karena aku menatap mereka. Aku hanya tersenyum kikuk sebagai balasannya, memilih kembali melamun di dekat gerbang rumah sembari duduk di atas dipan. Aku tak habis pikir. Bisa-bisanya Arangga yang merupakan Damar di masa lalu adalah putra dari kangmasku. Lebih parahnya lagi, aku masih menolak untuk percaya bahwa Adirangga adalah kangmas kandungku. Pupus sudah harapanku untuk bisa hidup berdua dengannya.

"Gauri, apa yang kamu lakukan di sini?" Aku menoleh ke arah pintu rumah. Elang rupanya. Eh, maksudku Kangmas Adirangga. Aku menatap Kangmas Adirangga. Alisnya yang menukik bagaikan burung elang, sangat tebal. Mungkin sejak lahir seperti itulah rupa alisnya sehingga kedua orangtuanya di masa depan memberinya nama Elang. Matanya seperti almond dengan iris cokelat gelap jernih seperti orang Indonesia kebanyakan. Hidungnya dalam takaran pas, tidak terlalu mancung dan tidak terlalu pesek. Bibirnya unik, seperti gambar burung di area pegunungan ala anak-anak sekolah dasar. Secara keseluruhan, ia tidak jauh berbeda dengan Elang. Hanya saja, rahangnya semakin tegas, menandakan bahwa ia jauh lebih matang daripada bocah ingusan seperti Elang. Sayangnya, bocah ingusan itulah yang kusukai.

Tubuhnya terpahat sempurna seperti atlet pencak silat di sekolahku di masa depan. Tak heran, sebagai putra sulung seorang temenggung di Kahuripan, Kangmas Adirangga pasti diharuskan menguasai seni bela diri. Torsonya tidak tertutupi apa-apa alias telanjang. Hanya ada beberapa perhiasan yang menggantung di leher hingga dadanya. Rambut panjangnya, ia cepol ke atas dengan memakai kain semacam udeng di kepala. Ada perhiasan atau lebih tepatnya sebuah gelang emas dengan permata berwarna rubi di lengan atasnya. Untuk menutupi bagian pinggang hingga bawah, ia memakai kain batik bermotif kawung. Aku mendesah dalam hati. Betapa beruntungnya Yunda Rindi memiliki Kangmas Adirangga sebagai suaminya. Aku berani menjamin, Yunda Rindi tidak akan pernah melirik pria lain sepanjang sisa hidupnya.

"Gauri, kau tidak menjawab pertanyaan Kangmas?"

Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. "Maaf, Kangmas. Apa yang Kangmas tanyakan kepadaku tadi?"

Ia menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku. "Kangmas bertanya, kamu sedang apa di sini? Kartika dan Candra tengah membantu Ibunda di dalam."

"Aku lebih suka di sini," jawabku pelan. Masih menikmati kesunyian ini, tiba-tiba Yunda Rindi datang dengan senyuman lebar. Kulirik Kangmas Adirangga yang ternyata turut tersenyum menyambut kehadiran istrinya.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang