1388
Aku berdiam diri di ruangan sepanjang hari. Dhipta yang keheranan sekaligus khawatir, mengunjungiku. Ia datang seorang diri, membawakan setangkai bunga mawar untukku. Mau tak mau aku tersenyum ketika menerimanya. "Terima kasih banyak, Sayangku."
"Ibunda mengapa hanya berdiam diri? Merasa tak sehat?" tanya Dhipta sembari duduk di ranjangku, sedang aku duduk dengan tubuh bersandar di ujung ranjang.
Aku menatap lekat-lekat bunga itu, masih dengan senyum yang tak mungkin luntur di hadapan sang pemberi. "Padahal semasa kecil dulu, kau hanya tahu bermain tanah, cacing, dan belut. Alih-alih bunga, kau malah memberi Ibunda seekor cacing yang gemuk."
Dhipta tampak kesal dengan jawabanku yang melenceng jauh dari pertanyaannya. "Ibunda ...."
"Tak apa, Ibunda sehat. Hanya ingin berada di ruangan ini saja," jawabku dengan senyuman mantap. Karena memang, tak ada yang salah dengan kesehatanku. Hanya saja aku tak ada hentinya memikirkan percakapan antara Wikramawardhana dan Yunda Sudewi. Sudah kuduga, harusnya saat itu aku tak menguping. Harusnya saat itu aku menunggu bukan di depan pintu, harusnya aku menunggu jauh di belakang Kemuning.
Mendengarnya, Dhipta lantas merebahkan kepalanya di atas pangkuanku. "Aku khawatir. Jika merasa tak enak badan sedikit, katakan. Jangan dipendam. Ibunda tahu, bukan, bahwa aku menyayangi Ibunda lebih dari apa pun? Aku tak mau kehilangan Ibunda."
Tanganku mengelus-elus rambut Dhipta yang tak ditutupi mahkota. Matanya terpejam, menikmati sensasi sentuhan sang ibunda. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Semakin dewasa, Dhipta semakin mirip dengan Kangmas Hayam Wuruk dari segi ketampanan. Aku masih tak percaya, Dhipta sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan bahkan kini sudah memiliki Paramartha. Tak kusangka, bocah menggemaskan itu kini menjadi seorang pemimpin hebat.
"Tenang saja, Ibundamu ini tak akan mati dekat-dekat ini, Dhipta," desahku disertai senyuman miris.
Mata Dhipta terbuka, menyalang tak suka kepadaku. "Jangan membicarakan tentang kematian. Tentu saja Ibunda harus masih hidup sampai umur yang keseratus. Ibunda harus melihat rambutku yang nanti memutih, ya?"
"Ya." Aku tersenyum lebar sembari terus mengelus rambut putraku. "Sebenarnya Ibunda ingin membicarakan sebuah hal penting kepadamu, Dhipta."
"Bicara saja. Aku akan mendengarkanmu, Ibunda."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang. Dhipta melihatku dengan tatapan bertanya-tanya. "Tempo hari, Ibunda mengunjungi Ibunda Sudewi dengan membawa semangkok bubur. Saat tiba di sana, ada Wikramawardhana di dalam ruangan dan mereka sedang berbicara empat mata. Ibunda menunggu di luar dan tak sengaja mendengar percakapan itu. Sejujurnya, Ibunda tak ingin memiliki prasangka buruk. Namun, semakin dipikirkan kembali, sepertinya mereka mencurigaimu hendak merebut takhta dari tangan Yunda Kusumawardhani suatu hari nanti."
"Pasti Kangmas Wikramawardhana yang pertama kali mencurigaiku. Padahal sudah kuutarakan seribu kali, bahwa aku tak berminat menguasai Majapahit. Blambangan saja sudah cukup bagiku," ucap Dhipta dengan wajah sendu.
Aku menangkup pipinya. "Ibunda memercayaimu, Sayang. Hanya saja kau mungkin kesal jika Ibunda meminta sesuatu kepadamu seperti saat ini. Apa pun yang terjadi, tahan amarahmu. Jangan menyulut api di lautan rumput kering. Apa pun yang terjadi, bertahanlah di Blambangan."
"Aku tahu, Ibunda. Walau Ayahanda menyandang gelar Bhre Kahuripan sebelum naik takhta, aku akan selama-lamanya tetap menjadi Bhre Wirabhumi tanpa pernah memiliki seluruh wilayah Wilwatikta. Ibunda bisa memegang janjiku," ucapnya sembari menggenggam tanganku erat.
"Ehm ... bisakah Ibunda menceritakan bagaimana bisa Ibunda bertemu dan menikah dengan Ayahanda?" tanya Dhipta dengan mata berbinar-binar. Aku tersenyum malu-malu, namun tetap mengelus rambut putra semata wayangku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Historical Fiction[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...