1359
Mengikuti Paman Enggon, aku menaiki sebuah pedati yang lebih mewah daripada milik keluargaku sendiri. Entah ke mana tujuannya, kami tiba setelah menyusuri jalanan yang dipenuhi pepohonan kelapa selama kurang lebih tiga puluh menit. Kami tiba di sebuah pesisir saat matahari sudah mulai menurun. Tunggu, aku pernah mengunjungi tempat ini ketika hidup di masa depan sebagai Ayu. Sebuah pantai yang dibatasi oleh karang yang memanjang sehingga air laut tidak bisa mencapai bibir pantai. Hanya ada sedikit genangan air sebelum pantai itu dibentengi oleh karang panjang itu. Sesuai keadaan geografisnya, pantai ini bernama Parangdhawa. Pantai ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di ingatanku. Hanya saja, pepohonan kelapanya terlihat lebih banyak dan airnya biru jernih tanpa ada cemaran dari zat-zat kimia dan sampah plastik.
"Gauri, baginda maharaja menunggumu di tengah-tengah parang itu. Saya akan undur diri dari sini," ucap Paman Enggon penuh hormat, lalu pergi meninggalkanku seorang diri di antara pasir-pasir kecil ini.
Aku menerawang. Jauh di perbatasan pantai dan laut, Maharaja Hayam Wuruk berdiri di sana, membelakangiku untuk menikmati pemandangan matahari tenggelam tanpa halangan apa pun. Rupanya aku salah sangka, tempat ia beristirahat adalah pantai ini. Memang hak seorang raja, mendapat privasi di tempat terbaik. Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk menghampiri Maharaja Hayam Wuruk. Perlahan, aku mulai menyusuri pantai dan turun ke genangan air yang memang lebih rendah dibanding pantainya sendiri. Tanpa ragu, aku mencelupkan kaki ke dalam air, menapaki sebuah karang kecil yang menyambung dengan karang-karang lainnya untuk mencapai tempat di mana Maharaja Hayam Wuruk tengah menungguku. Ia terlihat tak menyadari keberadaanku, hingga aku kesusahan menanjaki karang panjang itu karena terlalu tinggi dan aku tengah menggunakan jarik. Tersenyum hangat, ia mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya diletakkan di belakang punggung. Tak ada pilihan lain, aku menerima bantuannya.
Kini, tubuhku sepenuhnya telah berada di atas karang panjang itu. Mengedarkan pandangan ke kanan, aku melihat sebuah tebing besar. Ke kiri, ada sebuah karang besar berbentuk seperti kura-kura yang ketika ombak besar menerpanya, air lautnya akan jatuh seperti air pada coban (air terjun). Aku terkesima, pemandangan ini jauh lebih indah daripada yang kulihat sebelumnya. Tentu saja, ada efek matahari tenggelam dengan segala semburat oranyenya.
Maharaja Hayam Wuruk masih bergeming, matanya yang tadi menatap lekat-lekat ke arah langit, kini tertuju ke arahku. "Bagaimana perjalananmu?"
Aku tersenyum mendengarnya, tetapi masih tak berani membalas tatapan matanya. "Menyenangkan, Baginda."
Ia ikut tersenyum. "Syukurlah jika begitu. Apakah kau tahu tujuanku memanggilmu kemari?"
"Karena Baginda ingin menemui Hamba?" tanyaku kebingungan. Setidaknya memang begitu yang dikatakan Paman Enggon tadi.
"Tidak. Tidak hanya itu. Aku ingin menagih jawabanmu untuk permintaanku beberapa waktu lalu," jawabnya seraya mengelus kepalaku dan merapikan rambutku yang sedikit amburadul (berantakan) karena tertiup angin. Otakku langsung berputar. Astaga, mengapa aku sama sekali tidak mengingat hal itu? Sekarang aku bingung harus menjawab apa. Karena gugup, aku menggigit bibir bawahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Fiksi Sejarah[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...