18 | Hanya Tersisa Duka

15.5K 2.8K 202
                                    

1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1359

Tak terasa perjalanan kami di Tumapel sudah mencapai dua bulan. Waktu kami dihabiskan untuk mengunjungi dharma, pemandian, atau mengagumi pemandangan. Dan kini, rencananya para lelaki beserta prajurit akan berburu di Hutan Nandaka. Letaknya tidak begitu jauh dari penginapan yang kami huni. Dengan pedati, kami sampai dalam waktu tiga puluh menit. Para perempuan akan menunggu di tenda yang telah disediakan. Entah kegiatan apa yang akan dilalukan oleh kaum hawa seperti kami, aku memilih untuk ikut saja tanpa banyak protes. Oh ya, omong-omong, beberapa waktu belakangan ini Ranadwi sedang gencar-gencarnya mendekati Arangga. Aku tak bisa berhenti tertawa ketika Arangga yang awalnya canggung dan cuek bebek, kini mulai membuka diri kepada gadis itu. Bisa dibilang aku hanya berperan kecil dalam kelangsungan hubungan mereka.

Sampai saat ini, aku dan Kangmas Adirangga sama sekali tidak berinteraksi. Padahal, sudah beberapa kali aku mengajaknya berbicara. Tetapi, ia selalu mengatakan, "Kita bicarakan lain kali saja." Begitu pula hari ini. Aku memutuskan untuk menghampirinya dan mendiskusikan beberapa hal meski tak yakin ia akan menanggapi. Kangmas Adirangga yang tengah mempersiapkan barang bawaannya untuk perburuan ini terlihat gagah. Ia membawa belasan anak panah di punggungnya dan sebuah busur yang terbuat dari kayu jati terbaik. Ujung anak panahnya pun sangat runcing, mungkin mampu menembus jantung buruannya. Satu hal lagi, ia benar-benar tampil mempesona dengan busana yang tengah dipakainya. Lelaki lain juga tengah bersiap dibantu istri atau adik perempuannya masing-masing di tenda ini.

Meneguk ludah, aku memberanikan diri mendekati Kangmas Adirangga setelah Yunda Rindi pergi entah ke mana, mungkin membantu persiapan Arangga yang ikut berburu. "Kangmas, ada waktu?"

Sembari memasang peralatannya, ia menoleh sekilas. "Hanya sebentar. Perburuan akan segera dimulai."

Seperti yang sudah aku duga, ia kembali menghindar. Mengumpulkan keberanian untuk memaksanya berbicara, aku meremas-remas jemari tanganku. "Benar. Aku janji ini tidak akan lama."

Selesai dengan segala persiapannya, Kangmas Adirangga menatapku. "Baiklah. Katakan."

Aku mengembuskan napas dalam-dalam, menatap matanya lekat-lekat supaya ia tak bisa kabur lagi. "Mengenai perkataan Mpu Wiraga. Apa yang harus kita lakukan? Aku akan menunggu sampai dirimu siap. Tapi, tolong berilah aku kejelasan."

"A-aku ... baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya, Gauri. Aku tidak siap meninggalkan keluargaku. Bisakah kita pergi setelah mereka benar-benar siap melepaskan kita?" pinta Kangmas Adirangga dengan wajah serius. Namun, tak kupungkiri jika aku melihat gurat kesedihan di wajahnya.

Bagiku, jawaban itu masih tidak memperjelas semuanya. "Dan, kapan mereka siap melepaskan kita?"

"Mungkin lima puluh tahun lagi," jawabnya tanpa raut bersalah. Dengan entengnya dia mengatakan seperti itu? Harus ditendang memang bokongnya.

"Sekarang aku yang bertanya. Apa kamu sudah tidak waras? Kamu ingin kita kembali ke masa depan setelah lima puluh tahun lamanya? Memang kamu ingin menjadi seorang remaja yang jiwanya sudah pernah hidup selama puluhan tahun lamanya?" cercaku brutal dengan suara tertahan. Aku tidak mau kelepasan marah saat ada puluhan pasang mata yang siap melihat dan puluhan pasang telinga yang mendengar.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang