1359
Aku meraung-raung sejadinya, tak peduli bagaimana pandangan orang mengenaiku. Semua menangis, bahkan ayahanda menangis ketika kehilangan anak lelaki satu-satunya itu. Ibunda apalagi, beliau telah mengandung Kangmas Adirangga selama sembilan bulan, melahirkannya, dan merawatnya hingga kini ia dewasa. Kedua adikku kehilangan pelindungnya, kehilangan naungannya. Yunda Rindi ... sama sepertiku, menangis sesenggukan karena kehilangan belahan jiwanya. Arangga, aku tak bisa mendeskripsikan rasa sedihnya. Ia tampak begitu terpukul, kecewa karena tidak bisa melindungi Ayahandanya. Di atas semua kesedihan itu, aku masih sadar bahwa tak ada gunanya untuk tetap hidup di dunia ini karena aku tidak akan bisa kembali ke masa depan. Elang, meninggalkanku sendirian disini. Mana janjinya yang akan pergi lima puluh tahun lagi? Mana? Dasar pembohong ulung!
Kehabisan napas, aku mencoba menghentikan tangisku. Mataku terasa berat karena terlalu banyak memproduksi air mata. Berteriak seperti orang gila, aku memang sudah tidak waras. Aku mau kembali ke masa depan! Bagaimana bisa aku bertahan hidup tanpa Elang di sini?
"Kemarikan babi hutan itu! Biar aku ikut pergi!" Aku menggenggam tangan Yunda Rindi. "Bawakan aku babi hutan itu, Yunda. Aku tidak bisa hidup seperti ini!"
Namun, Yunda Rindi hanya menggelengkan kepalanya seiring dengan air matanya yang terus menerus jatuh, yang mana semua itu membuatku terpukul. Di masa depan, ia memiliki Elang dan di masa ini ia memiliki Kangmas Adirangga. Dia bisa memiliki keduanya. Tapi, aku sama sekali tidak memiliki kesempatan itu! Menyadari ia tak akan mengabulkan permintaanku, aku beralih menuju Arangga. Ya, keponakanku sangat menyayangiku. Ia pasti akan mewujudkan segala keinginanku. Maka, aku berlari menghampirinya, memegang kedua lengannya dan menatapnya penuh harap. "Arangga sayang Bibi, kan? Tolong kabulkan permintaan Bibi."
Arangga dengan matanya yang berlinang air menatapku kosong. Dan yang membuatku kembali kecewa adalah ia menggeleng, menolak permintaanku. Aku menatap Candra, Kartika, Ibunda, dan Ayahanda. Tapi mereka pun menggeleng, tidak menyetujui permintaan konyolku. Aku kembali meneteskan air mata, tak sanggup membawa beban rahasia bahwa seharusnya aku bisa kembali ke masa depan. Tapi, aku tak bisa mengatakannya.
Mataku mengedar, tak ada bangsawan lain yang melihat betapa tragisnya kematian Kangmas Adirangga. Mereka telah diusir jauh-jauh oleh Maharaja Hayam Wuruk tadi. Ah ya! Sri Rajasanagara pasti bisa mengabulkan keinginanku. Ia menatapku penuh rasa luka. Tapi, aku tak ada niatan untuk memperhatikan rasa luka orang lain saat ini. Buru-buru aku berlari dan bersimpuh di hadapannya.
"Baginda, mohon bantu Hamba! Hamba tidak akan pernah bisa hidup seperti ini!" pintaku, masih menangis tersedu-sedu. Ia tak mengatakan apa-apa dan hanya bergeming selama beberapa menit. Aku kembali putus asa. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk kembali ke masa depan, tak ada jalan untuk kembali. Dengan rasa putus asa ini, tangisku kembali meledak. Tak disangka Maharaja Hayam Wuruk berlutut, lalu meraih tubuhku dan membawaku menuju pelukannya. Aku menangis meraung-raung di sana. Berpengangan kepada dua bahu Hayam Wuruk, berharap aku memiliki sedikit kekuatan setelah dihancurkan berkeping-keping oleh takdir Tuhan. Kenapa Engkau sekejam ini, wahai Sang Pencipta? Hukum aku dengan cara lain, tetapi jangan jebak aku di masa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Ficción histórica[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...