46 | Rintang Jalan Berliku

8.1K 1.4K 46
                                    

1401

Siang menjelang sore yang begitu terik. Matahari mengintip dari celah pedati yang tengah kunaiki, menyengat kulitku yang semakin mengeriput. Hari ini adalah tepat dua belas tahun setelah Kangmas Hayam Wuruk meninggal. Keadaan keraton berubah, tak sehangat dan setentram dulu. Tepat setelah kepergian Kangmas Hayam Wuruk, Kusumawardhani sebagai putri mahkota diangkat menjadi raja putri. Namun, ia memilih memerintah di balik layar, membiarkan Wikramawardhana yang menduduki takhtanya. Awalnya kehidupan kami membaik—atau lebih tepat kukatakan, kehidupan mereka yang membaik karena nyatanya aku tak baik-baik saja.

Sepuluh tahun setelahnya, pada tahun 1399, Rajasakusuma meninggal dunia karena penyakit yang ia rahasiakan dari keluarganya. Sebenarnya aku curiga, kematiannya di usia yang sangat muda ini pasti adalah pengaruh dari pernikahan sedarah yang dilakukan oleh kedua orangtuanya. Saat ini tengah dibangun sebuah candi pendharmaan untuk Rajasakusuma yang seharusnya memerintah di Mataram dan Kabalan, menggantikan Wikramawardhana dan Kusumawardhani. Candi pendharmaan itu terletak di Tanjung dengan nama Paramasukapura. Setahun kemudian, secara berturut-turut, Kusumawardhani, Surawardhani, dan Nagarawardhani meninggal. Penyakit yang mereka derita beragam. Mulai dari penyakit pencernaan, pernapasan, hingga sistem peredaran darah. Aku tak mau curiga, tetapi mungkin penyebab utamanya adalah pernikahan sedarah selama banyak generasi. Mengingat semua pendahulu Wangsa Rajasa adalah keturunan dari Ken Dedes, pastilah mereka memiliki gen yang begitu identik. Kini, dari generasi Hayam Wuruk, yang tersisa hanyalah aku seorang diri.

Mereka yang sudah terlebih dahulu pergi dari dunia fana ini pun telah dibangunkan masing-masing satu candi pendharmaan. Lokasinya begitu beragam dan aku tak akan menyebutkannya satu per satu, hanya membuka kenangan lama. Wikramawardhana begitu terpukul, kehilangan permaisuri serta dua adik perempuannya sekaligus dalam satu tahun bukanlah hal yang mudah. Bahkan ia masih kesulitan menentukan letak candi pendharmaan bagi mereka. Dan, bahkan cucuku Suwardhamawardhana telah berpulang ketika melakukan perburuan bersama ayahandanya. Kasusnya mirip dengan Kangmas Adirangga dulu. Dhama yang memiliki wilayah di Pakembangan, kini hanya tersisa nama dan kenangan tentangnya saja.

Kini aku berada dalam perjalanan menuju pendharmaan Kangmas Hayam Wuruk di Candi Ngetos yang terletak pada sebuah lereng. Semasa hidupnya, Kangmas Hayam Wuruk pernah mengatakan bahwa ia ingin mendirikan sebuah candi di sini sebagai tempat pendharmaannya kelak. Hal ini dilatarbelakangi dengan letak Gunung Wilis yang bersebrangan dengan Puncak Mahameru yang digadang-gadang tempat tinggalnya para Dewa. Dalam pelukan, aku membawa sebuah guci emas yang menyimpan abu Kangmas Hayam Wuruk. Sang maharaja begitu terpukau dengan pemandangan dari tempat itu saat mengunjunginya. Padahal, aku berharap ia dicandikan di daerah Tumapel atau Kabalan.

Aku memejamkan mata, menikmati angin semilir yang berembus. Hari ini akan diadakan Upacara Sraddha untuk Kangmas Hayam Wuruk, apakah jiwanya akan datang dan memantauku? Setelah peringatan ini nantinya selesai, apakah artinya jiwanya akan segera bereinkarnasi dan meninggalkanku hidup sendirian di Majapahit? Tak peduli bagaimanapun dicoba, aku tak bisa mati dengan mudah seperti kata Ki Walang dahulu. Aku masih belum mengetahui makna dari merelakan yang ia maksud, sampai saat ini masih menjadi misteri. Di saat yang lain pergi, aku masih bertahan hidup. Di saat aku kehilangan mereka yang kucintai, mengapa aku tetap bernapas?

Terlalu larut dalam lamunan, aku tak menyadari bahwa kami sudah tiba di Candi Ngetos. Bangunannya begitu megah, terbuah dari bata merah yang melingkar, mengelilingi bangunan utama candi. Wikramawardhana turun dari pedatinya, begitu juga Dhipta dengan Paramartha yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik. Sebenarnya, aku ingin Arangga ikut serta dalam upacara ini mengingat ia juga dekat dengan Kangmas Hayam Wuruk. Namun, belakangan ini kondisi kesehatannya sedang tidak baik sehingga putra sulungnya terpaksa mengambil alih jabatan Temenggung untuk sementara. Kartika dan Candra sama-sama merasa tak berhak untuk datang karena mereka tak begitu akrab dengan suamiku. Selir-selir Kangmas Hayam Wuruk yang masih hidup, turut bergabung dengan kami, begitu pula putra-putrinya yang masih hidup dan menetap di Jawadwipa.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang