51 | Tenggelam di Barat

17.9K 1.7K 125
                                    

1420

Dari pernikahannya dengan Wikramawardhana, Paramartha memiliki seorang putri cantik bernama Suhita. Wijayawardhana sudah semakin dewasa dan tengah dipersiapkan untuk menjadi penguasa utama Majapahit. Kini ia tengah masih menjadi Bhre Tumapel. Banyak yang berubah dalam dua belas tahun terakhir. Salah satunya adalah pembangunan pendharmaan untuk Dhipta yang berada di daerah Lung. Candi itu dinamakan Grisapura dan didirikan atas perintah Paramarthawardhani. Setiap pertengahan tahun, aku mengunjunginya. Rupa-rupanya, setelah dipenggal pun, jasad Dhipta masih tetap dibakar oleh Wikramawardhana. Aku tahu, sesungguhnya ia tak benar-benar membenci putraku. Atau mungkin ia benci, tetapi Paramartha mendesaknya untuk mendirikan candi bagi Dhipta.

Namun, beberapa tahun terakhir ini situasinya berbeda. Banyak daerah-daerah yang melepaskan diri dari kesatuan Majapahit, membuat Wikramawardhana kuwalahan. Lembayung telah pergi terlebih dahulu dariku. Sebelum kematiannya, ia meminta untuk ditaburkan abunya di tempat yang sama seperti Kemuning. Kini, aku hidup hanya ditemani dayang-dayang suruhan Paramartha. Sebulan sekali, ia akan menyempatkan diri menengokku bersama Suhita. Kali ini, Wijayawardhana tak bisa ikut serta. Suhita adalah perpaduan sempurna antara Paramartha dan Wikramawardhana. Sedikit keras kepala dan tegas. Setiap datang ke kediamanku, ia selalu meminta untuk diceritakan mengenai buyut dan eyang kakungnya. Ia selalu duduk di pangkuanku walau Paramartha melarang. Untungnya Wikramawardhana tak masalah jika mereka sering mengunjungiku.

Kali ini kami berada di pekarangan rumah, duduk di atas dipan sembari mengelus lembut rambut Suhita. "Bisakah Uyut Gauri menceritakan tentang Uyut Hayam Wuruk?"

Aku terdiam, lalu menjawabnya dengan suara bergetar khas nenek-nenek. "Uyut kebingungan harus menceritakan apa lagi mengenai Uyut Hayam Wuruk, Suhita. Setiap kemari, kau selalu menanyakan hal yang sama."

"Apakah Uyut Hayam Wuruk sangat memerhatikan rakyat-rakyatnya?" Suhita memperjelas pertanyaannya.

Kali ini, tanpa berpikir lebih dalam, aku bisa langsung menjawabnya. Entah mengapa walau semakin tua, ingatanku tentang Kangmas Hayam Wuruk tak pernah pudar. "Ia memperhatikan rakyat-rakyatnya dengan segenap jiwa. Setiap beberapa tahun sekali, ia akan berkeliling menuju negara-negara bawahan Majapahit seperti Tumapel, Pajang, dan lainnya. Dalam kunjungannya itu, masyarakat bisa melihat jelas betapa agungnya kereta kencana kerajaan serta Pasukan Bhayangkara, tak jarang Uyut Hayam Wuruk berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Setahun sekali ia akan melakukan pertemuan agung yang disebut Paseban."

"Aku pernah mendengarnya dari Ibunda, tetapi ia tak tahu banyak mengenai pertemuan itu. Tolong jelaskan lagi, Uyut!"

"Pertemuan agung itu diadakan di Lapangan Bubat. Seluruh lapisan masyarakat bisa mendatangi tempat itu, mulai dari pejabat tinggi, arya-arya dari Balidwipa, Temenggung, dan rakyat biasa. Mereka mendiskusikan permasalahan yang terjadi dan mencari solusinya. Uyut Hayam Wuruk begitu dicintai rakyatnya walau sudah tiada," jelasku sembari menangkup pipi Suhita yang menggemaskan. Ia masih sekecil ini, namun bibit-bibit kecantikan sudah terlihat. Ia akan tumbuh secantik leluhur-leluhurnya.

"Mungkin seharusnya ayahanda melakukan hal yang sama seperti Uyut Hayam Wuruk, yakni mengadakan Upacara Paseban untuk mendapatkan kembali simpatik rakyat. Namun, sepertinya ia enggan melakukan itu," komentar Suhita dengan wajah lesu.

"Maka kangmasmu yang harus melakukannya di masa pemerintahannya kelak, Suhita," ucap Paramartha sembari turut mengelus rambut putrinya tersebut. Kami terdiam beberapa saat sembari menikmati semilir angin dan secawan wedang jahe yang dibuatkan oleh dayang-dayang.

"Aku benar-benar ingin berjumpa walau sekali dengan Eyang Dhipta. Ia pasti begitu mengagumkan, gagah, hebat. Dari cerita Ibunda dan Uyut Gauri, aku bisa membayangkan bahwa Eyang Dhipta adalah definisi lelaki keren idaman semua wanita. Yang paling mengagumkan adalah ia setia hanya kepada seorang perempuan yang tak lain adalah istrinya sendiri, Eyang Nagarawardhani," lanjut Suhita dengan binar-binar kekaguman. Terpancar kerinduang di matanya yang sama sekali tak pernah bertemu dengan Dhipta.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang