12 | Kembang, Kusuma, Rajasa

17.1K 2.9K 185
                                    

1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1359

Kali ini kami mengunjungi Candi Kidal dan Candi Jago yang merupakan peninggalan Kerajaan Singosari. Sepanjang hari, aku menempel pada Arangga dan menjadikannya tameng agar aku tidak perlu berinteraksi dengan Maharaja Hayam Wuruk—yang entah mengapa selalu curi-curi pandang padaku—dan agar kejadian aneh di Kedhung Biru tidak lagi terulang. Namun, dengan tega Arangga mengusirku. Ia menyuruhku bergaul dengan gadis-gadis muda lainnya. "Pergi sana, Bibi! Jangan selalu bersama denganku. Bibi juga harus berinteraksi dengan gadis seumuran Bibi."

"Aku juga berinteraksi dengan Candra dan Kartika! Umur mereka tak jauh dariku," sanggahku, menatapnya penuh permohonan, berharap dia luluh dan tidak menyuruhku bergaul dengan gadis-gadis itu lagi. Aku takut pembicaraan mereka tidak sampai di otakku. Bisa jadi mereka tengah membicarakan gosip terhangat di Majapahit tetapi aku tidak tahu-menahu sama sekali.

"Beda! Bibi Candra dan Bibi Kartika memiliki hubungan darah dengan Bibi. Pergi sana, cari aliansi," pintanya lembut seraya mendorongku agar maju dan menghampiri aliansi yang dimaksud Arangga. Dengan terpaksa, aku duduk manis di antara mereka yang cantik jelita dan merasa inferior.

Sebenarnya aku sudah menduga dari awal, bahwa ada seorang gadis belia yang benar-benar mirip dengan Irene, tunangan Arangga. Dengan licik, aku membuat skenario dalam otakku. Aku akan mendekatkan gadis yang mirip Irene ini dengan Arangga! Di antara gadis bangsawan lain, ia terlihat paling anggun, irit bicara, dan selalu mengulum senyuman tipis. Aku berdecak dalam hati. Gadis ini benar-benar duplikat Irene! Bahkan Ranadwi dan Irene sama-sama merupakan anak kedua dari keluarga kaya raya. Namanya Ranadwi, anak kedua dari seorang temenggung dari sisi lain Kahuripan, setidaknya begitu yang kutangkap dari pembicaraan gadis-gadis muda ini. Beberapa dari mereka adalah gadis yang menyapa Hayam Wuruk di Kedhung Biru kemarin. Salah satu dari mereka bahkan membuka percakapan mengenai Maharaja Hayam Wuruk.

"Baginda Maharaja sangat tampan," celetuk Ambarani, gadis yang tempo hari kulihat curi-curi pandang pada Hayam Wuruk. Ia menunduk hormat, namun saat itu bisa kulihat bahwa matanya hinggap ke sana kemari seperti lalat.

Ingin aku membantah bahwa ada yang lebih tampan dari Maharaja Hayam Wuruk, yang tak lain adalah kangmasku sendiri, Adirangga. Tapi, aku tak mau menyulut api permusuhan di sini. Seperti kata Arangga, aku kemari untuk mencari kawan baru, bukan lawan. Jikalau akhirnya kami berubah menjadi musuh pun, aku tak akan menyerangnya terang-terangan. Harus bermain cantik sembari menikmati seduhan teh hangat.

"Seandainya dulu ia tak menikah dengan sepupunya sendiri. Tidak, tidak. Seandainya dulu aku memiliki keberanian untuk mendekatinya, maka sekarang aku sudah menjadi permaisurinya dan mengandung anak kami," lanjut Ambarani dengan wajah yang berbinar-binar seperti habis memenangkan lotre.

Ranadwi yang sedari tadi diam menyimak, kini membuka suara. "Sebagai seorang maharaja, Sri Rajasanagara memiliki peran amat sangat penting. Mantan calon istrinya yang melakukan belapati adalah Dyah Pitaloka Citraresmi, seorang putri terhormat dari Pasundan. Dan kini, permaisurinya adalah sepupunya sendiri, yang masih memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Kau pikir, posisi sepenting itu akan diberikan kepada kita yang hanya anak gadis seorang Temenggung? Para penguasa menikah untuk mempertahankan dan memperkokoh kekuasaan. Keputusannya menikah dengan Permaisuri Sudewi, menurutku sudah sangat tepat. Darah anak mereka nanti sangat murni, benar-benar perpaduan bangsawan tingkat tinggi. Seorang pewaris takhta sejati. Terlebih, Maharaja Hayam Wuruk dan Permaisuri Sudewi sudah dijodohkan sedari kecil."

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang