1364
"Dhipta!" Aku memekik, memanggil putraku yang kini menuju usia empat tahun. Setelah mandi sore dan rapi dengan pakaiannya, Dhipta lari begitu saja dari ruangan. Para dayang panik, berhamburan mengejar Dhipta agar tidak terjatuh. Para prajurit yang merangkap menjadi pengawal pun turut berlarian, kalah dengan kaki gesit Dhipta.
"Astaga!" Menepuk jidat, gemas sendiri dengan tingkah laku putraku. Dari kejauhan aku bisa melihat wajah bahagia Dhipta yang berlarian menghindari kejaran dayang-dayang. Sebenarnya, para dayang itu bisa saja menangkap Dhipta dengan cepat. Hanya saja, aku meminta mereka untuk membiarkan Dhipta bermain-main. Terdengar suara tawa Dhipta ketika ia berhasil menghindar dari kejaran dayang-dayang yang juga gemas. Mau tak mau aku tersenyum, kebahagiaan anakku adalah yang utama. Melihatnya tertawa lepas seperti ini mampu membuat hatiku berdesir. Semoga saja tawa itu selalu ada di wajah lugunya.
Mataku terbelalak ketika Dhipta berlari mendekati guci pemberian Kaisar Thogon yang kebetulan Hayam Wuruk memberi perintah untuk meletakkan barang berharga itu di lorong ruanganku. "Dhipta, jangan berlari di dekat kendi itu, Nak!"
Aku berlari, hendak menghentikan Dhipta. Namun terlambat, putraku sudah terlebih dahulu menabrak guci itu hinga oleng, berputar-putar, dan jatuh berkeping-keping. Suasana mendadak hening, hanya terdengar tawa dari mulut Dhipta. Aku berlari mendekat, mencoba menjauhkan Dhipta dari pecahan kendi yang bisa membuatnya terluka. Namun, ternyata lariku tak cukup kencang untuk bisa menghampiri Dhipta tepat waktu. "Tidak, Dhipta!"
Bak keajaiban, sebuah tangan kekar meraih tubuh mungil Dhipta dan membawa putra kecilku itu ke dalam pelukannya.
"Kena kau, Ksatria Cilik!" ujar Kangmas Hayam Wuruk sembari mengecup kedua pipi Dhipta gemas. Rasanya kakiku mendadak lemas, jika saja Kangmas Hayam Wuruk tak tiba tepat waktu, mungkin Dhipta sudah terluka saat ini.
"Demi Sang Hyang Adi Buddha, untung saja Kangmas datang tepat waktu," ucapku sambil berjalan menghampiri mereka berdua.
"Tenang saja, Dewiku. Putra kita akan selalu aman dalam pengawasanku." Kangmas Hayam Wuruk melempar senyum, tahu cara menenangkan hatiku yang tak karuan karena tingkah laku Dhipta.
Aku menatap Dhipta, hendak memarahinya tapi tidak sampai hati. "Dhipta, mengapa kamu begitu suka menyiksa jantung Ibunda, Nak?"
"Dhipta suka bermain dan berlari-lari, Ibunda," katanya polos. Tersenyum penuh pengertian, aku membelai lembut rambut Dhipta dan memerintahkan para dayang untuk membereskan pecahan kendi tersebut sebelum membuat orang lain terluka.
"Ayahanda!" Terdengar suara pekikan riang. Rupanya Kusumawardhani datang bersama Yunda Sudewi yang tengah tersenyum di belakangnya. Kusumawardhani langsung memeluk kaki Kangmas Hayam Wuruk. Gadis cilik yang kini usianya tengah berjalan menuju lima tahun itu tampak begitu bercahaya sore ini.
"Gula Jawa kesayangan Ayahanda sudah di sini rupanya," sambut Kangmas Hayam Wuruk dengan wajah berseri-seri ketika melihat wajah putri sulungnya. Kangmas Hayam Wuruk amat mencintai dan menyayangi Kusumawardhani lebih dari putra dan putrinya yang lain. Ia mungkin tak menyadarinya, tetapi tatapan matanya tak bisa membohongiku. Meski begitu, ia tak membeda-bedakan putra-putrinya.
"Aku juga ingin digendong seperti Adimas Dhipta!" seru Kusumawardhani yang langsung disambut oleh kekehan Kangmas Hayam Wuruk.
"Apa kalian bahagia?" tanya Hayam Wuruk dengan mata menyipit, terlihat pancaran kebahagiaan di sana. Dengan begitu gagah, ia menggendong Dhipta dengan tangan kiri, sedang Kusumawardhani berada di gendongan sebelah kanannya. Kusumawardhani dan Dhipta serempak mengangguk, lalu mulai berceloteh. Membuatku dan Yunda Sudewi saling melempar tatapan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Fiction Historique[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...