1359
"Kalian berada di ambang kematian."
"Apa?!" jeritku ketika mendengar penuturan orang tidak dikenal ini. Mengabaikan fakta bahwa aku tengah bersitegang dengan Kangmas Adirangga, aku bersembunyi di balik badannya seakan meminta perlindungan.
"Siapa Anda?" tanya Kangmas Adirangga, mewakili jutaan pertanyaanku tentang lelaki itu. Penampilannya seperti Dewa Siwa dalam serial India yang sempat tayang di televisi beberapa tahun silam. Namun, ada tambahan fitur janggut dan kumis. Aku bisa melihat lelaki asing itu mengulum senyum sembari meletakkan kedua tangannya di depan dada, memberi salam kepada kami berdua.
"Hamba adalah Mpu Wiraga, utusan yang dikirim Sang Hyang untuk memberi petunjuk kepada kalian berdua."
"Petunjuk? Petunjuk apa?" serbuku menggebu-gebu, melupakan bahwa aku sempat merasa takut kepada lelaki yang ternyata bernama Mpu Wiraga itu. Ia tampak tak begitu asing, sepertinya aku pernah melihat Mpu Wiraga selama berada di pendharmaan di Kagenengan ini.
"Petunjuk mengenai kehidupan dan kematian, serta sesuatu di antara keduanya," lanjutnya di bawah guyuran gerimis yang tidak lagi lembut. Langit menjadi pekat, membuat penampakan Mpu Wiraga terlihat menyeramkan tanpa adanya sinar matahari. Suara petir semakin lantang menyambar, jatuh tak jauh dari tempat kami berpijak. Angin berembus kencang, membuatku menggigil dan ketakutan. Di masa depan aku bisa berlindung dengan aman di dalam rumah dan bersembunyi di sini, tetapi di tempat ini tak ada yang terasa aman bagiku. Pohon-pohon terlihat seolah akan runtuh diterpa angin badai. Kata ayahanda, perjalanan ini dilakukan setelah musim hujan berlalu. Namun, kenapa hari ini terjadi badai hebat? Padahal cuaca hari sebelumnya benar-benar cerah dan matahari tiada malu mengintip dari balik awan.
"Apa maksudnya?" tanya Kangmas Adirangga dengan alis yang bertautan, tetapi nada bicaranya terdengar kalem dan lembut. Masih sama seperti beberapa saat lalu, di mana kita terselimuti amarah dan saling meneriaki satu sama lain. Aku heran, bisa-bisanya ia mengendalikan emosinya dengan bersifat lembut dan dewasa seperti itu. Mungkin aku saja yang terlalu pemarah dan belum beranjak dewasa.
"Yang berada dalam raga Ki Adirangga dan Nyi Gauri ini bukan pemiliknya yang asli," jelasnya. "Ada jiwa-jiwa yang tersesat dan menempati raga yang seharusnya telah kosong itu."
Aku tercekat mendengar penjelasannya. Secara tersirat, ia aku tahu arti perkataannya. "Apakah itu benar bahwa sesungguhnya Adirangga dan Gauri yang asli telah meninggal?"
Di sela-sela kilat dan guntur yang semakin ganas menyambar, aku melihat Mpu Wiraga menganggukkan kepalanya. Raut wajahnya mendingin, menunjukkan betapa seriusnya percakapan kami ini. Perkataan Mpu Wiraga yang selanjutnya mengundang gemuruh dari langit, hujan datang menggantikan gerimis. "Hamba adalah salah satu pendeta buddhis di pendharmaan ini. Sejak melihat kalian berdua dalam upacara puja bhakti tadi, Hamba bisa merasakan bahwa mereka telah meninggal saat kalian memasuki raganya. Ki Adirangga meninggal beberapa tahun silam setelah terjatuh dari kuda dan Nyi Gauri meninggal beberapa waktu lalu karena hanyut di dalam arus sungai."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Historyczne[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...