1359
Tak terasa sudah dua bulan lebih kami melakukan perjalanan panjang ini bersama Maharaja Hayam Wuruk, serta keluarga temenggung dari Kahuripan dan Trowulan. Akhirnya, kami berada di penghujung acara. Sebelum kembali ke keratonnya, Maharaja Hayam Wuruk meminta singgah ke salah satu pantai tersohor di Jawa Timur, Watu Ulo. Kami telah melintasi ratusan desa dan bermalam di belasan penginapan yang tentu saja namanya tidak akan pernah kuhafalkan, kini kami berada di wilayah Blambangan yang kuyakini di masa depan tergabung dalam Kabupaten Jember. Seperti biasa, kami akan menikmati indahnya matahari terbenam dari perbatasan antara daratan dan lautan itu.
Namun, ada yang berbeda. Keluargaku memutuskan untuk menabur abu kangmas di laut selatan ini. Candra, Kartika, dan Arangga tampak lebih rela dibanding ayahanda, ibunda, dan yunda yang kadang masih terlihat sedih. Mereka masih kerap menangis, tetapi tak sesering dulu. Begitu tiba di Watu Ulo, kami segera menuju ke bibir pantai. Keluarga temenggung yang lain memilih menyingkir, menikmati pemandangan dari sisi lain. Toh, Watu Ulo bukanlah pantai kecil. Kendi yang berisi abu kangmas berada dalam pelukan ayahanda. Sebagai kepala keluarga, beliau memiliki andil yang sangat besar untuk menabur abu putra satu-satunya itu. Beriringan, kami berjalan menuju sebuah batu besar yang mirip dengan sisik ular. Banyak mitos yang beredar bahwa batu ini berasal dari seekor naga jahat bernama Naga Raja yang membuat para nelayan sekitar tidak bisa mendapatkan ikan. Kemudian ada seorang pendekar yang membunuh Naga Raja. Konon, yang terdapat pada pantai ini adalah badannya, sedangkan kepalanya berada di Banyuwangi dan ekornya ada di Pacitan.
Setelah berjalan kurang lebih seratus meter, kami tiba di ujung batu yang menyerupai tebing mini ini. Kenyataannya, pantai ini menghadap timur, berlawanan dengan tempat matahari tenggelam. Seharusnya, jika hari cerah, tempat ini akan terlihat indah. Namun, kali ini matahari enggan menampakkan diri karena tertutupi awan-awan tebal di atas sana.
Suara angin berderu kencang di kedua telingaku. Rambut beserta kain yang kami gunakan menari-nari, mengikuti kencangnya angin yang berembus. Dengan hati-hati, ayahanda mulai membuka tutup kendi itu. Perlahan, tangan kanannya mulai merogoh ke dalam kendi dan mulai menebarkan segenggam abu itu ke dalam laut. Meski tak mengatakannya, aku tahu mereka mulai belajar merelakan kepergian kangmas. Mereka mungkin tengah meminta ampunan kepada Sang Hyang Adi Buddha agar Kangmas Adirangga tidak bereinkarnasi menjadi hewan. Oh, tenang saja. Aku bisa menjamin kalau itu. Ia akan bereinkarnasi sebagai Elang. Dan, Elang akan bereinkarnasi menjadi siapa? Entah, aku sama sekali tidak memiliki gambaran tentang itu.
Satu per satu dari kami bergantian menabur abu kangmas. Mulai dari ibunda, yunda, dan kini giliranku. Dengan berat hati aku mendekati ayahanda dan merogoh ke dalam kendi tersebut. Teksturnya begitu lembut dan nyata, dia benar-benar sudah tiada. Dan, kini aku menggenggam abu Kangmas Adirangga dengan kedua tanganku. Tak kuasa menahan kesedihan, sebulir air mata menetes dari pelupukku. Ini pertama dan terakhir kalinya ia berada di genggamanku. Akhirnya, aku bisa meraihnya walau Kangmas Adirangga tak lagi bernyawa. Aku membiarkan rambutku berayun-ayun menutupi wajah, tak mau yang lain melihat air mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Majapahit] Forgive Me For Everything
Ficción histórica[Cakrawala Mandala Series #1] 1359 Gadis itu memiliki nama yang serupa dengan seorang tokoh cerita sejarah di Wattpad. Tidak, ia tidak pernah membacanya. Tapi, ia mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita tersebut. Bedanya, hanya jiwanya yang mera...