20 | Darah Lebih Kental

15.1K 2.6K 35
                                    

1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1359

Sepanjang sisa perjalanan, suasana mencekam. Tidak semenyenangkan dulu. Para anggota keluarga temenggung lainnya kerap melempar tatapan kasihan kepada kami. Ditinggal satu-satunya anak lelaki dalam keluarga memang menyedihkan. Pun kudengar dari desas-desus yang beredar bahwa Maharaja Hayam Wuruk secara pribadi meminta Mpu Prapanca yang sudah bergabung dengan perjalanan kami, untuk tidak memasukkan peristiwa naas ini dalam kitab yang tengah ditulisnya. Siapa juga yang mau mengingat kejadian malang yang menimpa keluarga temenggung yang tidak memiliki hubungan kerabat yang dekat dengan maharaja?

Kami mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Hanya Arangga yang selalu murung. Aku yang tak pernah sekalipun melihat sisi lemah, baik Damar maupun Arangga, mencelos. Baru kusadari bahwa orang yang menyebalkan, selalu tertawa dan menghibur, ternyata rapuh di dalam. Aku selalu mendapati Arangga melamun, kadang menangis. Aku merasa bahwa kesedihanku karena ditinggal oleh Elang yang sudah kucintai selama bertahun-tahun ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sedih seorang anak yang kehilangan ayahnya. Mengingat pepatah, anak yang tidak lagi memiliki orangtua disebut yatim, tetapi orangtua yang kehilangan anaknya tidak memiliki sebutan apa-apa karena rasa sakit yang mereka hadapi tidak terkira. Aku paham meski belum merasakannya. Ayahanda dan ibunda pasti sangatlah hancur hatinya. Yunda Rindi pun sama. Menghabiskan waktu belasan tahun dengan Kangmas Adirangga pasti membuatnya memahami suaminya luar dan dalam. Aku yang hanya mencintai dari jauh selama beberapa tahun, jelas sudah kalah telak. Aku tak bisa bersaing dengan yunda untuk mendapatkan hati kangmas. Perbedaan kami terlalu jauh.

Malam ini, aku tengah duduk bertekuk lutut di halaman belakang penginapan kami yang ditumbuhi berbagai macam pohon. Tidak sendiri, ditemani para generasi muda dari keluargaku. Ada Candra, Kartika, dan tak lupa Arangga. Mereka sama-sama tengah menatap langit bertabur bintang. Aku sendiri berharap salah satu dari bintang tersebut jatuh agar bisa meminta permohonan yang tak mungkin. Apalagi selain mengharapkan kangmas secara ajaib hidup kembali? Tak tahan dengan keheningan yang menusuk jiwa ini, aku akhirnya membuka suara. "Karena aku hilang ingatan, bisakah kalian menceritakan tentang Kangmas Adirangga selama ia hidup?"

Candra mencelos. Ia adalah orang pertama yang menjawab pertanyaanku tanpa banyak mengeluh rindu kepada pelindung kami yang telah pergi itu. "Yang mana dulu? Ada begitu banyak kenangan tentang Kangmas Adirangga yang kuingat."

"Kenangan yang lucu?" Aku sedang ingin tertawa saat ini, ingin pula melihat senyuman di wajah dingin Arangga. Aku sadar bahwa sudah lama kami tak saling bercanda dan melempar senyum semenjak kematian kangmas. Kami masih begitu merasa kehilangan. Sejujurnya, aku juga masih tidak percaya dan rela atas kepergiannya. Jembatanku untuk kembali ke masa depan sudah runtuh, bersamaan dengan hatiku yang patah.

"Hmmm ... sebentar, biarkan aku mengingat-ingat dahulu," ujar Candra. Matanya menerawang jauh ke sebelah kanan atas, mencoba memanggil memori bahagia, setidaknya begitu ilmu psikologi yang kuketahui. Senyuman tipis terbit di bibirnya. "Ah, aku ingat. Kangmas pernah tidak sengaja memakan ulat hijau."

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang