8 | Sebuah Purwaka

19K 2.8K 73
                                    

1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1359

Keesokan harinya, kami berangkat menuju Trowulan menaiki pedati yang ditarik oleh lembu. Aku menaiki pedati yang sama dengan ayahanda, ibunda, dan kedua adik kembarku. Sementara itu, Kangmas Adirangga beserta keluarganya berada di pedati lain. Beberapa rewang turut serta, duduk di pedati khusus yang membawa barang bawaan para bangsawan.

Pedati yang berada di barisan paling depan adalah milik Bhre Kahuripan, Tribhuwana Wijayatunggadewi, kata Candra. Para prajurit yang menaiki kuda berjejer rapi di depan pedatinya. Beberapa pedati milik keluarga temenggung mengikuti dari belakang. Kudengar dari Ayahanda, kunjungan Prabu Maharaja kali ini diadakan setelah musim hujan, di mana jalanan yang tadinya penuh lumpur kembali mengering dan mengeras. Air sungai yang naik, kini kembali surut sehingga mempermudah perjalanan.

Terdengar suara dedaunan yang saling bergesekan atau sesekali menabrak atap pedati. Melewati deretan pohon jambu dan mangga, kulihat diam-diam Arangga memetik beberapa dan menyembunyikannya di bawah tempat duduknya. Aku tersenyum dalam diam, lalu kembali menikmati perjalanan dengan obrolan bersama kedua adik kembar dan kedua orangtuaku. Mereka membicarakan hal yang boleh dan tidak boleh kulakukan saat bertemu dengan keluarga kerajaan, terutama Maharaja Hayam Wuruk.

Poin pertama, aku tidak boleh menatap wajahnya, harus senantiasa menunduk. Kedua, aku harus menjawab semua pertanyaan yang ditujukan padaku, padahal aku tak yakin jika seorang raja sepertinya memiliki waktu untuk berbincang denganku. Ketiga, jangan berbicara sembarangan di dekat keluarga kerajaan. Yah, siapa pun pasti tahu hal itu. Aku yang berasal dari masa depan pun tahu, tak perlu diragukan lagi.

"Ayahanda, sebenarnya dalam rangka apa kita berpergian seperti ini?" tanyaku karena terlampau penasaran.

"Baginda Maharaja selalu melakukan perjalanan ke luar ibukota setiap beberapa tahun. Kali ini, Baginda hendak mengunjungi pendharmaan leluhur-leluhurnya. Mungkin sekaligus meminta restu dari Wangsa Rajasa atas hamilnya Permaisuri Sudewi," jawab ayahanda yang kemudian beliau menceritakan sejarah pernikahan mereka yang kurasa cukup pelik.

"Mereka menikah dua tahun lalu?" tanyaku lagi.

Kali ini ibunda yang mengangguk. "Banyak yang memanjatkan doa kepada Sang Hyang, semoga pernikahan mereka berdua diliputi kebahagian mengingat tragedi yang telah lalu."

Aku pun turut mengamini dalam hati.

"Kita akan bermalam di Trowulan sebelum bertolak menuju Tumapel. Setidaknya begitu rencananya," lanjut ayahanda.

Aku langsung membayangkan hal yang 'iya-iya' selama di Trowulan nanti. Mungkin sang maharaja akan menjamu kami dengan makanan-makanan lezat dan menempatkan kami di ranjang yang empuk dengan suasana kamar yang, ehm elite. Aku antusias karena belum pernah menginap di hotel bintang lima dan berpelayanan top sebelumnya. Jiwa miskinku termanjakan nantinya.

Karena pedati kami berjalan tidak terlalu lambat, saat matahari mulai terbenam, kami tiba di Trowulan. Pedati-pedati para temenggung menunggu giliran untuk menepi dan menurunkan penumpangnya. Kuyakin para kusirnya tengah bersiap-siap memberi makan para lembu dan mengistirahatkan mereka untuk perjalanan jauh esok hari. Para bangsawan didatangi oleh beberapa dayang yang memandu mereka ke ruangan masing-masing untuk beristirahat sejenak dan membersihkan tubuh, setelahnya menikmati jamuan yang telah disiapkan oleh Sang Maharaja.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang