2

368 30 0
                                    

Rabu, sore hari.

Sepulang sekolah aku tidur pulas. Sekitar satu setengah jam ... Sampai akhirnya bangun karena ketukan pintu.

"Teh! Teteh ..." Panggil Tino sambil terus mengetuk pintu.

"Iya sabar!" Sungutku kesal. Adekku emang agak nyolot kalau ngetuk pintu.

"Apa?!" Seruku setelah membuka pintu dan menemukan dia sedang berdiri dengan menyenderkan badan ke tembok.

"Kalau mau minta bantuan ngerjain PR, sorry Teteh gak bisa. Otak teteh lagi istirahat." Omelku sebelum Tino menjelaskan apapun.

"Dih siapa juga yang mau minta bantuan, yang ada PR-ku salah semua!" ucapnya tanpa ekspresi. Emang adek resek!

"Terus mau ngapain gedor-gedor pintu Teteh?" tanyaku dengan nada nyolot.

"Dipanggil ibu tuh." kata Adek lalu dia pergi begitu saja ke kamarnya yang ada di sebelah kamarku.

"Sok cool lo Dek!" ocehku, dia mah cuma ngelirik lalu meletin lidahnya ke arahku, habis itu dia nutup pintu kamarnya.

Adek orangnya irit ngomong, udah gitu mukanya kadang judes abis apalagi kalau sama orang asing. Tapi kalau lagi resek, mukanya tengil tengil manis gitu. Soalnya kalau lagi resek dia suka ngeluarin senyuman yang lebih mirip smirk.

Gak heran kadang beberapa teman sekelas atau bahkan kakak kelasnya suka mintain nomornya ke aku, saat aku beberapa kali ke sekolahnya buat jemput dia.

Dia terhitung cukup hits untuk ukuran junior yang baru kelas 7 SMP.

"Kenapa, Bu?" tanyaku menghampiri Ibu yang lagi masak di dapur.

"Teteh mau makan sama apa?" Tanya ibu tersenyum hangat menatapku.

"Apa aja, Bu. Ibu kayak gak tau aja kalau aku kayak tong sampah. Apa aja dimakan kok kalau Ibu yang masak,"

Ibu hanya mengangguk lalu kembali fokus motongin bumbu yang mau dipakainya buat masak.

"Bapak belum pulang ya, Bu?" tanyaku lebih kepada pertanyaan gabut aja sambil lihatin Ibu masak.

Siapa tahu ilmu masaknya nular ke aku, tanpa aku harus belajar masak.

Ibu menggeleng, "Belum, Teh."

"Bu, menurut Ibu Bapak orangnya galak gak?" Tanyaku, setelah itu Ibu langsung melirikku.

"Menurut Teteh gimana? Bapak pernah ngomelin Teteh?" tanya Ibu dengan lembut. Ibu adalah simbol dari keanggunan seorang perempuan bagiku. Selain itu Ibu juga tegas. Kalau ibu udah marah gak ada yang berani jawab omongannya, sekalipun itu Bapak.

"Gak pernah Bu," sahutku sambil terus berpikir, tapi Bapak emang nyaris gak pernah ngomelin aku. Paling cuman negur dan itu pun nada bicaranya masih santai walau isi kalimatnya nyindir keras.

Ibu cuma ngangguk saja meresponku.

"Tapi Teteh pernah beberapa kali lihat Adek diomelin Bapak." ungkapku.

Ibu melihatku dengan sorot bertanya, atau mungkin gak menyangka kalau aku bakal mgomongin soal ini?

"Mungkin karena Bapak pikir anak cowok harus dididik lebih keras." Jelas ibu.

"Bu, uang jajan Adek emang diserahin ke Ibu semua ya sama Bapak?" Lagi lagi pertanyaanku membuat ibu mengernyitkan dahi.

"Iya, Teh ... uang jajan kalian memang ibu yang pegang." kata ibu.

"Tapi kalau aku minta langsung ke Bapak, Bapak suka ngasih tuh. Kalau Adek yang minta Bapak malah ngomel."

Ibu gak merespon apapun. Ibu fokus sama masakannya, tapi aku bisa menangkap sorot kecewa dalam mata Ibu.

Siap, Coach! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang