7

278 21 0
                                        

Sabtu pagi.

Aku sudah siap dengan seragam sekolahku, yaitu seragam pramuka yang sudah melekat rapih di tubuhku.

"Bu, Teteh berangkat sekolah nih ..." Pamitku berteriak. Tanganku sibuk menguncir rambut panjangku.

"Berisik, kalau niat pamit samperin ke dapur sana." usul Adek.

Omongannya emang gak salah, tapi karena dia ngomong dengan ekspresi yang sok cool gitu jadinya kedengaran ngeselin!

Setelah ngomong, Adek nyelonong gitu aja melewatiku--berjalan menuju pintu untuk keluar.

"Lah kamu gak pamit woy!" tegurku dan cuman mendapat tatapan datar darinya.

"Heh Sableng, berhenti gak?!!!" ucapku dengan nada mengancam.

"Buru buru." balasnya singkat.

"Ibuuuu!!! Adek mau bolos lagiiii" seruku lumayan kencang. Tapi gak sekencang suara pemimpin upacara.

"Teh, apaan sih ah elah!" Dari nada bicaranya aku yakin emosi Adek sudah mulai terpancing.

"Suruh siapa gak pamit? Yok pamit bareng-bareng" ajakku dan mendapat gelengan dari Adek.

"Aku udah bilang lagi buru-buru kan?" ulangnya.
Tapi aku gak menggubris dan langsung menggamit lengannya dan menariknya menuju dapur.

"Teh udahlah." pintanya terdengar melemah.

Aku ngerti sekarang, Adek lagi menghindar dari Ibu dan juga Bapak pastinya

Tapi aku terus menariknya ke arah dapur, jarak dapur dan ruang tamu yang kini kuinjak emang agak jauh sih tapi aku gak nyerah narik lengan Adek yang mendadak berotot karena menahan tarikanku.

"Teh," panggilnya.

"Kak?"

"Mbak!"

"Abis ini apa? Sister?" ucapku membalas panggilannya yang berubah-ubah.

"Ya ini lepasin. Gue mau berangkat sekolah nanti kesiangan." Adek gak berhenti ngasih alibi, kali ini ucapannya makin terdengar kesal dan gak lagi pakai aku-kamu.

"Ya tapi pamit dulu, katanya pamit yang benar itu harus nyamperin." ucapku mengulang ucapannya padaku.

"Ya kan gue bilang kalau niat pamit beneran." sanggahnya.

"Jadi lo gak niat pamit?" tanyaku sambil menyipitkan mataku ke arahnya. Cengkeramanku di lengannya sudah kulepas.

"Ish!!" Dia malah mendesis saat mulutnya sudah ingin menjawab.

"Apaan ini, kenapa ribut?" Saat kami saling menatap tak suka, Bapak datang dari arah kamar.

"Oh beneran ribut toh, dikirain kuping Ibu yang salah dengar tadi." Gak lama Ibu pun bergabung dengan masih menggunakan apronnya.
Rambutnya yang biasa ditutupi hijab sekarang tergerai indah.

"Ini kita mau pamit, sekalian minta uang jajan tambahan bulan ini hehehe tadi Ami maksa Adek buat ikutan minta juga biar dia gak minta teraktiran mulu sama aku." Ucapku beralasan.

Mendenger itu, Adek menatapku kaget.

"Kok tumben, padahal sebelumnya Teteh gak pernah minta tambah uang bulanan." Ucap ibu dengan kerutan di dahinya.

"Banyak kebutuhan sekolah, Bu. Apalagi eum-pelatih ekskul volleyku yang baru orangnya dikit-dikit nagihin bayar baju ekskul hahaha." tipuku lalu tertawa sumbang.

Ini masuk kategori pencemaran nama baik gak sih? Aduh!!! Kalau Mas Coach tau sih gak kebayang. Aku gak ngerti kenapa mulutku bilang begitu padahal dia udah baik banget kemarin.

Siap, Coach! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang