the wedding

121 10 2
                                    

Peringatan bagi pembaca sekalian, terdapat adegan yang tidak patut ditiru, dan kata-kata kasar yang tidak boleh dibaca oleh anak dibawah umur 15 tahun. Harap ngertiannya.

— r&p —

"Udah siap, Ren? Hari ini kan?" tanya Ara saat kami berbincang didepan kelas X IPA 3.

"Iya, hari ini." ucapku datar.

"Lu yakin gamau salah satu dari kita temenin?" tawar Ara.

"Ngga, gue pergi sama Erik." jawabku masih tanpa ekspresi.

"Yakin lu? Pergi sama tuh bocah?" tanya Ara tampak tak yakin.

"Santai, gapapa kok." balasku. Kami terdiam sesaat, sampai Ara melihat sesuatu di belakangku, dan pandangannya berubah.

"Rena! Gue cariin kemana-mana ternyata disini," ucap seseorang yang sudah kukenal, dengan nada ramah.

Aku tak menjawab, hanya menoleh. Sementara Ara terlihat meminta penjelasan dariku.

"Ada apa lagi kak?" tanyaku membuka suara.

"Mau ikut gue ke kantin ga?" tanyanya ramah, tapi aku bisa melihat mata yang memaksaku ikut dengannya.

"Ra, gue duluan ya," ucapku tersenyum tipis.

Tanganku sudah lebih dulu dicengkram olehnya, kakak kelas yang gila senioritas. Sekarang kemana lagi? Gudang? Oh tidak. Aku tau tempat ini. Ini gedung sekolah yang sudah jarang dipakai. Wc, lab, dan gudang disini sudah jarang digunakan oleh pihak sekolah, palingan hanya untuk menyimpan barang.

"Kak.. Kita mau kemana?" tanyaku mulai merasa kesakitas pada tanganku yang dicengramnya erat. Dan kurasa perkataanku kurang tepat.

Dia berbalik mendorongku ke tembok.

"Lu pikir, gue udah nyerah hah? Gue ga akan berhenti ngebully lu, sampai lu beneran pergi dari Erik!" Ucapnya mengangkat kerah bajuku, dan menariknya menggantikan tanganku yang sebelumnnya ditarik-tarik.

Ini wc, sudah kuduga akan disini. Lalu dimana teman-temannya? Apa dia bekerja sendiri? Dia mengunci pintu. Membiarkanku bernapas sejenak.

"Lu tau, gue gasuka ada yang ngambil apa yang gue mau." ucapnya menatapku sini, tapi dengan senyum yang menakutkan.

"Dan lu, dengan seenaknya ngambil Erik dari kehidupan gue." ucapnya perlahan melangkah maju.

"Lu pikir lu itu lebih cantik dari gue, gitu?" Ucapnya menginterogasi, sambil tetap memojokkanku hingga ke sudut ruangan.

"Lu liat! Lu liat muka lu! Apa yang bagus dari tampang bodoh lu ini, hah?" Ucapnya hampir seperti berteriak, mengarahkan wajahku ke cermin di belakangku.

"Kenapa lu diem? Udah ga berani ngelawan sekarang?" ledeknya.

BRAK!

Sesuatu menghantam kepala bagian belakangku, membuatku kehilangan kendali dan terjatuh, tapi aku masih sadar.

Ah, itu dia, dua orang temannya yang sejak tadi bersembunyi.

Dia, si ketua, berjalan mendekatiku yang sudah terduduk. Dia berjongkok, menyamakan pandangan denganku.

"Kalau muka aja udah jelas-jelas cantikan gue, apasi yang lu kasih sampai Erik mau sama lu?" ucapnya memandang remeh kearahku.

"Enaknya, kita apain?" tanya si ketua pada dua temannya. Aku mengangkat kepalaku, mencoba menghafal wajah mereka.

"Kakak-kakak ini siapa?" tanyaku pada akhirnya. Ketiganya menatapku.

"Heh! Lu tuh ga boleh ngomong sebelum gue suruh! Paham ga?" bentaknya menarik kerah bajuku. Aku tersenyum tipis, mencoba memicu amarahnya.

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang