18 - Sképsi

12 4 0
                                    

Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Renard, ia berhasil melacak keberadaan akademi dengan mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat dibanding Anerea. Setelah berkumpul, mereka mulai berteleportasi ke hutan yang terletak tidak jauh dari tempat akademi berada. Pemandangan serba hijau dan jalanan yang mendaki menyambut mereka. Dan di atas, langit berubah menjadi abu, mendung datang secara tiba-tiba.

Renard bergegas naik ke tempat yang lebih tinggi dan mengintai keadaan sekitar. Tak perlu waktu yang lama untuk menemukan tempat yang mereka cari. Warna yang kontras menjadi panduan penglihatannya untuk mengenali akademi.

Setelah itu, Renard mulai melangkahkan kaki dan memimpin perjalanan.

"Jadi... apa yang harus kita waspadai dari musuh kita?" Lessel membuka pembicaraan. Sunyi bukanlah hal yang asing di telinga mereka. Justru sebaliknya, mereka menyukai kesunyian karena itu berarti tidak ada pertanyaan-pertanyaan bodoh yang akan muncul. Namun bukan berarti mereka akan terus diam dan menikmati suasananya. "Sepertinya Anerea benar-benar menghajar mereka waktu itu, benar?"

"Anerea memang menghajar mereka," jawab Valgard. "Namun sepertinya elf itu dapat mengimbanginya, jadi ia tidak dapat menghabisi mereka tepat waktu," lanjutnya.

Renard menoleh ke belakang, melirik beberapa makhluk yang mengikutinya di belakang. "Elf itu?" ulangnya.

Valgard mengangguk, dan mendapat perhatian lebih dari makhluk-makhluk lainnya. "Elf itu... kalau tidak salah Anerea menyebutnya dengan nama Sienna. Anerea sempat membunuhnya waktu itu, namun entah kenapa ia bisa hidup kembali. Dan yang aku tahu, ada campur tangan dari lazarus."

"Lazarus?" Lessel mengernyit.

"Lazarus—entahlah. Dari pembicaraan Anerea dan Raja yang kutangkap, lazarus sepertinya merupakan sebuah ramalan," jelasnya, dan memberi jeda. "Omong-omong soal pertanyaanmu tadi, aku tidak yakin harus mewaspadai mereka karena kami cukup membuat mereka kehilangan banyak penyihir. Seharusnya kekuatan mereka sudah lebih banyak berkurang."

"Aku mengerti hal itu," Lessel membalas, namun tidak cukup antusias dengan jawaban yang diberikan oleh Valgard. Lessel bukanlah seseorang yang suka melewatkan sebuah info meski itu tidak signifikan dalam perjalanannya menyelesaikan sesuatu. Ia menginginkan semua informasi itu. "Tapi aku yakin pasti ada sesuatu yang harus kita waspadai, karena aku percaya bahwa semua orang dapat mengeluarkan sisi tak terduganya ketika mereka merasa sudah ingin menyerah."

Tak bisa mengelak lagi, Valgard mau tak mau harus menjelaskan dari apa yang telah ia saksi dan rasakan ketika penyerangan tempo itu. "Satu-satunya yang dapat menandingi Anerea selain Sienna waktu itu hanya seorang penyihir tua... aku tidak tahu siapa namanya, tapi yang jelas kalian akan mengetahuinya ketika melihatnya. Dia manusia."

"Manusia atau bukan akan kuhabisi! Aku tidak peduli! Ha!" seru Reinhold dengan semangat dan kekeh cukup hebat. Bahkan burung-burung yang sedang bertengger di ranting pohon spontan beterbangan ke udara.

"Aku sangat setuju dengan itu," Renard kembali melirik, kini dengan seringai miliknya.

"Tahan dulu semangatmu, Rein. Kita harus tahu siapa mereka, agar kita bisa membuat mereka menderita." Lessel mengangkat tangannya dengan lambat dan lemah, bahkan nyaris tidak dapat dilihat oleh Elite Thirteen lainnya.

"Ya... menderita, aku suka itu." Renard menimpali.

Reinhold kembali tertawa melihat antusias timnya. "Jadi, hanya menghabisi mereka saja, kan? Tidak ada perintah lain, Bos?" tanya Reinhold.

Lessel menggeleng, lalu mengintai pepohonan yang ada di depannya, "tidak ada."

Sementara itu, Renard maju lebih jauh ke depan meninggalkan kawanannya.

~ á s k i o s ~

Tidak butuh waktu yang lama untuk Elite Thirteen menemukan di mana akademi. Setelah melakukan pengintaian yang singkat untuk menentukan berapa banyak jumlah musuhnya dan strategi apa yang akan mereka gunakan, mereka mulai mendatangi akademi.

Pertempuran dimulai dengan cepat sesaat setelah Elite Thirteen tiba. Situasinya sangat suram, terutama untuk pihak akademi yang hanya tersisa beberapa penyihir yang masih tinggal dan enggan untuk pergi. Wulfio sadar bahwa ini bukan pertarungan yang dapat mereka menangkan, dan kalau semua penyihir mau mengambil keputusan untuk pergi dan tidak mati sia-sia, ia akan sangat bersyukur. Namun ditemani dengan beberapa penyihir senior saja ia sudah lebih bersyukur bahwa ada orang lain yang ingin berjuang dengannya.

Walaupun Wulfio dapat dikatakan sudah menduga pertarungan yang tidak seimbang ini, ternyata Elite Thirteen melakukan sesuatu yang lebih kejam daripada hanya menyerang dan menghabisi isi akademi. Seperti yang sudah disebutkan, Elite Thirteen melakukan pengintaian terlebih dahulu, dan mereka menemukan bahwa hampir para penyihir tidak berkumpul di saat yang bersamaan. Masing-masing dari para penyihir melakukan tugasnya untuk membersihkan akademi yang masih terlihat berantakan.

Rencananya adalah...

"Sepertinya mereka sedang sibuk," kata Renard ketika kembali dari pengintaian. "Aku punya ide yang kurasa cukup bagus."

"Katakan," Lessel mengalihkan tatapannya dari reruntuhan akademi yang terlihat kecil dari kejauhan ke arah Renard.

"Tapi kurasa kau tidak akan suka rencanaku, Rein," ujar Renard, tersenyum simpul lalu menempatkan satu kakinya di atas batu dan sedikit membungkuk untuk menjelaskan rencananya. Reinhold sempat menatap Renard sebelum kemudian mengalihkan tatapannya kepada Lessel. Meski jiwa barbarnya ingin menghabisi para penyihir itu sendirian, keputusan eksekusi rencana tetap ada pada Lessel. "Ada delapan penyihir, dan mereka semua sedang sibuk. Kabar baiknya, mereka tidak berkumpul di satu tempat. Ini kesempatan yang bagus untuk kita menghabisi mereka satu persatu dengan diam-diam. Kalau saja Aelis Si Pembunuh ada, aku yakin dia akan sukarela untuk menghabisi mereka semua."

"Ada delapan..." Reinhold mulai menghitung dengan jarinya.

Lessel tidak berpikir panjang untuk menyetujui rencana dan maksud dari kalimat Renard. "Baiklah, kalian bisa menghabisi mereka dulu secara diam-diam. Lalu kita berkumpul untuk menghabisi penyihir tua yang dimaksud oleh Valgard itu."

"Aku ingin tiga!" celetuk Reinhold ketika selesai menghitung.

"Aku dan Valgard masing-masing bisa menghabisi dua penyihir. Itu artinya tujuh," timpal Renard menggenapi.

"Baiklah, tunggu apa lagi?" tanya Reinhold.

Jadi mereka memulai rencana itu. Setelah cukup dekat dengan akademi, satu persatu dari Elite Thirteen pergi dengan diam-diam. Dimulai dari Renard, Valgard, dan kemudian Reinhold. Mereka membunuh satu persatu penyihir yang tidak waspada, membantainya dengan keji, mengoyak tubuh itu dengan cara paling buruk yang dapat dibayangkan. Lessel memperhatikan dari kejauhan dan hanya dapat menampakkan seringai puas. Dan setelah tugas-tugas kecil untuk para anggota tim selesai, Lessel mendekat ke akademi.

Wulfio bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk melawan. Tubuhnya kini terkulai lemas tanpa nyawa yang menyokong kehidupannya. Kelopak matanya masih terbuka, dan Lessel memastikan bahwa ialah makhluk terakhir yang Wulfio lihat. Setelah memastikan bahwa Wulfio sudah benar-benar mati, Lessel melepaskan cengkeramannya di kerah pakaian Wulfio. Darah menjadi tinta di atas reruntuhan akademi sebagai kanvasnya. Hujan datang sebagai penanda penyelesaian misi mereka, menciptakan diorama berupa sungai yang dialiri oleh darah para penyihir yang telah gugur.

Lessel mendongak menatap langit. Rintik hujan menerpa wajahnya yang basah, ia tersenyum simpul. "Untuk saat ini, kita tunggu langkah selanjutnya."

Hujan turun semakin deras di tanah akademi, Elite Thirteen meninggalkan sebuah luka yang akan ditemukan oleh para penyihir muda.

The King's MoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang