Jarrel tengah menyantap makan malam bersama keluarganya. Pemuda itu duduk di sebelah Kakak laki-lakinya yang hanya makan salad. Katanya sedang diet, belakangan ini berat badannya naik. Jadi ia meningkatkan olahraga dan mengurangi kalori dalam makanannya.
"Rel, kamu sudah putus dengan anaknya penyanyi itu, 'kan?" Papa-Abimana Nareswara-membuka pembicaraan.
Jarrel menghentikan pergerakan mulutnya yang sedang mengunyah. Ia tatap Papanya sejenak sebelum akhirnya menelan habis makanan yang ada di mulutnya.
"Papa nggak ada pertanyaan yang lain? Arrel capek jawabnya," jawab Jarrel sedikit kesal.
"Papa cuma nggak mau kamu jadi nggak fokus sekolah karena terlalu asik pacaran," Abimana kembali berujar.
"Arrel udah gede, Pa. Biarin aja sih dia pacaran," celetuk Damian mengomentari.
"Nggak usah ikut campur kamu," balas Papa.
Jarrel menghela napas. Ini sudah kesekian kalinya ia mendengar perkataan yang sama dari sang Papa. Selain tentang nilai dan pelajaran, Abimana juga sering bertanya perihal Lingga. Membuat Jarrel frustasi harus mendengar pertanyaan yang sama ratusan kali. Sudah seperti kaset rusak saja.
"Papa tenang aja, Arrel pasti bisa wujudin mimpi Papa," setelah berujar begitu, ia beranjak pergi meninggalkan meja makan.
"Makanannya habisin dulu, Rel," kata Mama yang menatap risau si bungsu yang nampak kesal.
"Arrel udah kenyang," balasnya tanpa menoleh.
Mama menghela napas. Ia melayangkan tatapan tajam pada suami karena membuat anak bungsunya merengut. Padahal problem itu sudah mereka selesaikan sejak lama. Namun entah kenapa, setiap hari Abimana selalu membahasnya.
Jarrel masuk ke garasi dan menurunkan sepedanya yang digantung di dinding. Ia hanya memakai sendal rumah tanpa perlengkapan sarung tangan bahkan helmet nya. Karena ini sudah malam dan ia tidak berniat pergi terlalu jauh, jadi menurutnya tidak perlu memakai semua itu. Setelah pintu garasi terbuka, Jarrel mengeluarkan sepedanya. Dengan berhati-hati pula, ia menutup kembali garasi serta pagar rumah. Dia rasa semua sudah, kereta angin itu melaju di jalanan komplek yang sepi dengan penerangan terbatas.
Biasanya jika sedang banyak pikiran, Jarrel akan bersepeda. Entah jauh atau dekat, tapi mengelilingi kota dengan kendaraan itu jadi sebuah healing untuk jiwanya. Tidak peduli pada waktu apa atau situasi apa, yang jelas kalau isi kepalanya sudah semrawut, pasti ia akan bersepeda.
Hobi ini sudah hampir satu tahun ia jalani. Bersamaan dengan Zacky, terkadang mereka bersepeda berdua melintasi daerah satu ke daerah lainnya. Bahkan mereka pernah di fase nyaris gila karena bersepeda sampai ke puncak sana. Katanya sih, menenangkan pikiran. Nggak tau tuh, pikirannya jadi tenang atau malah gelisah karena kecapekan.
Dua putaran terlewati, mendadak suatu gejolak familiar dengan bunyi suara aneh terdengar. Perutnya kembali bernyanyi. Ya, memang sudah sewajarnya begitu. Karena saat makan malam tadi, nasi hanya masuk tiga sendok saja. Batinnya telanjur kesal mendengar obrolan Papa. Jadi ia tinggalkan saja piringnya yang masih bersisa.
Sepeda itu berhenti di tepi jalan raya tempat pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Setelah sepedanya aman terparkir, Jarrel mendekati gerobak bakso beserta Mamangnya.
"Mang, baksonya satu," pesan Jarrel kemudian duduk di kursi yang disediakan.
Jarrel membuka ponsel. Ada pesan dari grup circle nya. Nampaknya Hannan sedang berusaha menggali konspirasi lain lagi setelah kemarin selesai dengan alien. Kadang pun Jarrel tak paham dengan isi kepala pemuda Sunda itu. Giliran disuruh belajar ngantuk, sekalinya membicarakan konspirasi alam semesta, semalam suntuk pun ia sanggup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
FanfictionTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020