Pelangi Api

3.5K 421 66
                                    

Celin berdecak sebal saat melihat pagar sekolah sudah ditutup. Ia langsung beranjak keluar mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk sopirnya. Gadis itu lantas berlari dan memukul pagar tinggi itu sembari memanggil pak satpam. Sungguh pagi yang sial. Ia bangun kesiangan karena lupa menyalakan alarm. Mima dan papi keluar kota sementara kakaknya tidur di asrama. Jadi ia hanya sendirian di rumah dengan ditemani oleh beberapa asisten rumah tangga. Dan yang lebih parah, ini adalah hari pertama fase haidnya.

"Pak! Bukain dong, saya cuma terlambat lima menit! Masa nggak ada toleransi sih?!" seru Celin masih terus memukul pagar besi itu. Telapak tangannya bahkan sudah memerah sekarang.

Di sela-sela kegiatannya, mobil ferrari merah berhenti di depan pagar, bunyi klakson terdengar dua kali menjadi tanda agar si satpam segera membukakan pagar. Ajaib. Pagar dibuka oleh sang penanggung jawab. Celin menatap jeli siapa pemilik mobil mewah ini. Jendelanya bergerak terbuka dan menampakkan seorang pemuda yang ia kenal jelas siapa. Cedric Ghazanvar. Si musuh bebuyutan yang tidak pernah usai cari perkara. Bahkan bisa-bisanya dia mengedipkan sebelah mata seolah sedang meledek Celin? Kemudian pagar itu terbuka lebar mempersilahkannya masuk. Tunggu dulu, jangan buat pagi Celin semakin buruk. Celin hanya terlambat lima menit saja pak satpam tak mau membukakan pagar. Namun anak dari pemilik yayasan yang terlambat sepuluh menit dipersilahkan masuk serta merta dengan mobil mewahnya. Sulit dipercaya.

Setelah masuknya mobil itu, Celin hendak masuk pula karena pagarnya masih terbuka. Namun pak satpam mencegat dengan memberinya selembar kertas penalti. Gadis itu menggeram kesal. Dengan terpaksa ia ambil kertas itu dan berjalan masuk ke dalam sekolah.

Menurut peraturan yang ada, setiap siswa tidak diperkenankan datang terlambat. Gerbang ditutup pukul tujuh lewat seperempat dan siapapun yang terlambat akan dikenakan hukuman. Dispensasi, Pandu Cedric Ghazanvar.

Kaki gadis itu sampai di depan ruang konseling. Dengan napas yang berat ia membuka pintu kaca itu sembari mengucapkan sapa.

"Permisi, selamat pagi," katanya sesaat telah menginjakkan kaki di dalam.

"Selamat pagi," balas wanita awal tiga puluhan duduk di kursinya.

"Saya terlambat, Miss," katanya sembari menyerahkan kertas penalti.

"Duduk," titah Miss Naya menerima kertas itu.

Menuruti perintah gurunya, Celin duduk di hadapan Miss Naya yang sibuk menginput data pada komputernya.

"Kenapa bisa terlambat?" tanya Miss Naya tanpa mengalihkan pandangan.

"Bangunnya kesiangan, Miss," katanya dengan bibir yang cemberut.

"Celina?"

"Ghiya Izdihar," sambung gadis itu melengkapi namanya.

"Ngepel lapangan indoor satu, ya."

"Mana sanggup, Miss," protesnya. Mana sanggup dia kalau disuruh ngepel lapangan indoor yang besarnya bisa menampung ratusan orang.

"Ya udah, indoor dua."

"Malah makin parah..." protesnya lagi. Karena jika dibandingkan indoor satu, lapangan indoor dua bisa dua kali lebih besar dari yang pertama.

"Makanya, satu aja," final Miss Naya kemudian menyudahi pendataannya.

Celin berdecak sebal. Lapangan sebesar itu hanya ia yang mengerjakan. Doakan saja dia tidak pingsan. Bangkit dari duduknya, Celin berangkat menuju lapangan indoor yang tak jauh dari sana. Ia menyimpan tasnya di kursi penonton paling depan dan mulai mengambil peralatan pel yang ada di dekat pintu. Dengan tidak bersemangat, gadis itu menggosok lantai hingga jadi sedikit licin. Kalau ada hari yang paling menyebalkan, itu pasti jumat pagi hari ini.

Nabastala ke TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang