"Dari mana kamu?" Jarrel yang baru memasuki rumah jadi berhenti saat sebuah pertanyaan diajukan untuknya. Lelaki itu berbalik, menatap seorang pria yang sedang sibuk membaca e-mail lewat laptopnya.
"Tadi ada perkenalan anggota basket baru" jawab Jarrel menatap Papa.
Abimana menghentikan aktifitasnya. Ia menatap si bungsu yang makin hari makin dewasa itu. Pria itu berdiri, menghampiri Jarrel yang nampak tak merasa bersalah karena pulang terlambat.
"Udah Papa bilang berhenti aja dari basket. Kamu jadi pulang malem terus, pelajaran kamu bisa terganggu, Rel," sambung Abimana saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan anaknya.
"Nggak, Pa. Selama Arrel bisa mengatur waktu, pelajaran nggak akan mungkin terganggu," jawabnya. Sungguh, ia sudah muak dengan Papanya yang selalu memintanya untuk keluar dari klub basket. Padahal itu salah satu pengalihan dari kemuakannya terhadap sifat Papa.
"Kemarin nilai kamu turun. Coba jelaskan kenapa bisa?" tuntut Abimana menatap tajam Jarrel.
"Ada soal yang Arrel nggak ngerti," jawabnya membuang muka.
"Karena kegiatan kamu di luar yang membuat kamu jadi nggak punya waktu buat mempelajari soal itu!"
"Bukan, Pa... emang Arrel nya yang nggak ngerti. Dari kemarin juga udah Arrel pelajari tapi tetap nggak bisa masuk ke logika Arrel!"
"Pikiran kamu bukan di pelajaran, itu sebabnya kamu nggak ngerti. Udah, Papa nggak mau tau, kalau nilai kamu masih belum ada perkembangan. Terpaksa mobil kamu Papa tahan," ujar beliau kemudian berbalik ingin kembali menyambung pekerjaanya.
Jarrel mengusak rambutnya kasar. Selalu begitu. Mengancam dengan hal-hal yang berhubungan dengan fasilitas.
Pemuda itu menghela napas kasar kemudian berlalu begitu saja. Bahkan ia jelas-jelas menunjukkan amarah lewat langkah kakinya.
Lelaki itu membanting pintu kamar. Entah berapa lama lagi ia akan hidup dalam tekanan Papa. Setiap detil dalam hidupnya selalu dicampurtangani. Padahal Jarrel sudah dewasa. Ia sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Ia tau mana yang baik dan buruk. Lagi pula, bukannya Papa sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan?
Jarrel mendudukkan dirinya di hadapan meja belajar. Ia mengeluarkan beberapa buku dan mulai mempelajari soal yang tadi ia bilang tak paham. Ipadnya yang semula mati, juga sudah menyala dengan beberapa referensi soal yang barangkali membantunya dalam memecahkan soal yang ia punya. Bukan hanya itu, jemarinya juga sibuk berpindah dari satu buku ke buku lain, matanya seperti mata elang yang tajam dan fokus pada mangsa. Jarrel terlihat penuh dendam dalam belajar. Memang, semua bencinya pada Papa selalu ia lampiaskan ke sana. Karena jika nilainya bagus, Papa tidak bisa merendahkannya. Namun jika sedikit saja nilainya turun, maka itu akan jadi urusan yang panjang.
Sekian menit terlewati. Jarrel menghempas penanya bersamaan dengan kepala yang jatuh ke sandaran kursi belajar. Hawa panas mulai terasa menyelimuti. Karena terlalu fokus mengerjakan soal, ia sampai lupa berganti pakaian. Jarrel membuka kemeja sekolahnya, menyisakan kaus putih yang mencetak jelas betuk tubuhnya. Pemuda itu membuka ponsel untuk menghibur diri. Ia buka story Gemmi yang muncul di paling kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
FanfictionTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020